25. Gila.

44 20 98
                                    

.
.
Nadhin menutup pintu kamarnya, wajahnya masih berseri berbekas air wudhu. Lalu netranya menemukan jam dinding yang terpasang di atas tempat tidurnya, ternyata sudah jam 18:30.

Nadhin berjalan mengecek ponsel di meja belajarnya, ada beberapa chat melayang di layar ponselnya. Tak usah ditebak, siapa lagi jika bukan Zaki pelakunya. Lalu Nadhin mengambilnya dan berjalan keluar kamar, mengambil sandal dan menutup pintu, berjalan menuju rumah diseberang jalan.

"Kak Didhinnnn," Panggil Hana menyambut kedatangan Nadhin, ia berlari kecil dan memeluk kaki Nadhin.

"Hmm, udah makan?" Nadhin berjongkok menyamakan tingginya, lalu bergerak menggendong Hana. Membawa anak kecil itu menemui orang tuanya di depan televisi. "Udah,"

"Hanan mana om?" Tanya Nadhin pda Tama, papa Hanan sembari mendudukan diri dengan Hana di pangkuannya.

"Lagi magriban, kayanya." Nadhin mengangguk lalu bermain dengan Hana dan sesekali bercakap dengan Mama Hanan juga.

Tak lama Hanan datang dari arah ruang Sholat dengan sarung melilit pinggangnya. Ia berjalan melewati Papa nya yang duduk berselonjor kaki didepan televisi melepas penat seusai seharian bekerja.

"E kumenangis!!" Seketika Nadhin mengarahkan pandangannya pada Om Tama yang mengelus kakinya sayang karena telah menjadi sasaran kejahilan anak nya.

Ternyata Om Tama terkejut karena bulu kakinya yang tak berbalut celana pendek nya dicabut paksa oleh Hanan. Meski hanya sehelai,tetap saja itu sakit. Om Tama yang fokus menonton film jadi latah seketika, sementara Hanan tertawa terbahak-bahak hingga ambruk di samping Papa nya sambil berguling-guling.

"Ahahahahaha-" Hanan tak bisa berhenti tertawa.

"Laknat lo Nan. Awas kualat. Sentil aja om, sentil." Ujar Nadhin mengompori setelah tawa kecilnya reda.

"Nggak sopan, abang." Tegur Mama Hanan memandang putranya yang belum juga selesai tertawa.

"Ampun om, ampun om." Hanan memohon ampun saat Papa nya menjewer telinganya tanpa ampun.

"Om??" Papa nya berjengit mendengar anaknya sendiri memanggilnya 'om' seperti Nadhin memanggilnya.

"Pa. Papa, ampun-ampun. Kuping abang mau putus, tolong Ma." Sementara mamanya hanya memeletkan lidah tak mau ikut campur.

Hinggggg!! Tiba-tiba Hana menangis sambil berjalan menuju abangnya karena merasa kasihan. Lalu memukul tangan Tama unyuk menghentikan jeweran nya.

"Abang nakal Na, jangan di bela."

"Uh, emamg cuma Hana yang sayang abang ya Na. Muach."

"Idih"

Masih ingat "e colok!" Milik Hanan? Ya! Dari papa nya lah latah itu diturunkan.

-----

"Awas ah, ngapain lo ngejogrog disitu?"

"Ck!" Nadhin mendecak ketika kaki yang ia tumpukkan dikursi belajar Hanan ditarik paksa oleh pemilik meja.

"Lo mau apa kesini coba?" Tanya Hanan sambil mulai menggenjreng gitar nya yang baru saja ia dapat hasil menggeser kursi yang Nadhin duduki.

"Mau minta pendapat lo," jawab Nadhin memutar kursi kantor lungsuran itu menghadap Hanan di kasurnya.

"Gue nggak punya pendapat, cari di warung coba."

Minta di obral emang tu ginjal.

"Gue serius." Hanan menghentikan petikan gitar dipangkuannya, lalu memandang Nadhin.

SETRIP.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang