.
.
Mbruuummm- ceklek. Motor matic Hanan baru saja sampai diparkiran. Langsung saja Nadhin turun dan melepas helm dari kepalanya. Lalu merapikan rambutnya, berkaca pada spion."Astaghfirullah halazim, monyet. Bisa santai dikit ga sih gesernya?!" Sedang enak-enaknya berkaca, sekonyong-konyong Hanan menyenggol Nadhin hingga gadis itu hampir terhempas. Untung Nadhin sigap menggeser kakinya berjaga-jaga.
"Astaghfirullah halazim, bedosa lu ngatain temennya Jepri nikol begitu." Oceh Hanan sembari merapikan rambutnya.
"Jepri nakal lo mah. Temennya Udin."
"Lah lo juga temennya Udin kan??? Temen SD kita."
Tak peduli dengan Udin, Nadhin berjalan meninggalkan Hanan yang kini bergerak menyimpan helm kedalam jok motornya. Tak lama Hanan datang menghampiri, berjalan bersama menaiki tangga menuju kelas mereka di atas.
Di sisi lain parkiran, Zaki dan Papah nya baru saja sampai. Melihat kenampakan Hanan dan Nadhin hendak menaiki tangga, Zaki bergegas turun dari motor dan menyalimi tangan Papah nya yang padahal masih sibuk melepas kaitan helm nya yang memang suka bermasalah.
"CK.."
"Nggak sopan ya kamu, kamu saya kutuk jadi tawon." Kaya Papahnya mendengar putra semata wayangnya berdecak menunggu tangannya untyk disalami.
"A tidak. Kelep jederr! Nguuuuooong nguooonngg- clep! Tawonnya nyengat Papah. Bentol-bentol tuh." Canda Zaki memperagakan bunyi petir, bunyi tawon yang berterbangan dan berakhir mencubit lengan Papahnya seolah ia adalah tawon sungguhan.
"Apaan si lu, anak siape lu." Sahut Papah Zaki sedikit terkekeh dengan tingkah Zaki, lalu menyodorkan tangannya. Menyimpannya ditangan yang lain.
"Anak lu." Jawab Zaki setelah mencium punggung tangan Papahnya itu.
Sederhana memang, tapi itulah satu-satunya sumber tawa terbesar dari seorang ayah dengan anak semata wayang yang tengah tersenyum lebar di parkiran pagi itu.
"HH?" Merasakan tangannya digenggam, Nadhin terkejut. Lalu menoleh, mendapati Zaki sudah berada di sebelahnya. Menapaki anak tangga yang sama. "Zaaak.." lirih Nadhin berniat melepaskan genggaman. Tapi Zaki menolak.
Hanan berada di kanan, dan Zaki di kiri menggenggam tangan Nadhin.
"Woy, pagi woy!" Sapa Zaki membuyarkan fokus Hanan pada ponsel ditangannya.
"Apaan lu, nyapa orang kek ngajak tawuran." Sahut Hanan menyimpan ponselnya ke saku. Karena fokus menyimpan benda itu, langkah Hanan jadi tertinggal selangkah. Dengan begitu Hanan bisa melihat tangan Nadhin yang digenggam Zaki karena mereka berdua satu anak tangga lebih tinggi. "Eh apaan tuh? Gandengan segala kek tronton."
"Hah? Apaan? Salah liat kali." Langsung saja Nadhin melepas paksa tangan Zaki. Meski Zaki agak tidak rela.
"Mata lo kan tulalit. Salah liat tuh." Timpal Zaki ikut-ikutan.
"Oiya kan gue juga buta huruf ya, jadi salah liat kali ya?" Ucap Hanan menambahi saja, asal-asalan mengikuti alur komedi yang mereka buat.
"Kalian cocok deh. Duluan ya, ngeri kalo ketularan." Pamit Nadhin berlari kecil menaiki tangga, meninggalkan dua lelaki se-frekuensi itu.
Setelah kepergian Nadhin, Hanan menautkan alisnya bertanya pada Zaki. Menaik-turunkan alisnya sampai Zaki merasa risih.
Tak kunjung dijawab, Hanan beralih memperhatikan Zaki dari samping dengan seksama, hingga dua menit lamanya.
"A-apa?!"
"Ipi."
"Ipi?!"
"Ipi?!!"