Dari info yang barusan beredar, panitia agaknya benar-benar akan mengadakan pentas sederhana. Buktinya, dalam sekejap bagian tengah lapangan telah di sulap panitia menjadi panggung sederhana dimana akan diadakan pentas seni kecil-kecilan sebelum besok sore mereka pulang ke sekolah. Dengan panggung hasil meminjam dari desa sekitar, tanpa atap, dan dihiasi lampu kelap-kerlip yang dibeli dadakan. Sudah bak tahu bulat saja memang. Kini kawasan tengah lapangan itu kian ramai setelah ketua panitia—kak Dhimas— mempersilahkan para peserta untuk menyaksikan pentas dadakan tersebut untuk mengisi malam mereka, juga untuk mengakrabkan dua angkatan itu.
Hanan tai! Dugaan gue bener kan.
Masih duduk bersila bertemankan Genta dan lainnya, fokus Zaki masih saja tak bisa berpindah dari pengakuan Hanan yang beberapa saat lalu ia dengar. Hatinya masih saja tak terima, mengapa setelah sekian kali ia bertanya baru kali ini dijawab oleh Hanan? Batinnya tak henti menggerutu.
Udah gue duga.
Lelaki di sampingnya pun sama. Bedanya Genta hanya tidak se kaget Zaki yang kelihatannya sudah seperti terkena serangan jantung kecil setara kehilangan ponsel disaku.
"Apa?!" Tak sengaja kedua mata mereka bertemu, seakan melontarkan pandangan mencurigakan satu sama lain.
"Apa?"
Masa iya saingan gue nambah, orang dalem lagi..apes!
Ah bodo ah, gue curi start duluan malam ini. Masalah di gantung mah belakangan.
Zaki meraba kantong hoddie nya mengambil ponsel.
-----
Zaki yw : inget permintaan gue kan Dhin?
Zaki yw : nanti gue kabarin.Melihat isi pesan tersebut, Nadhin segera membalasnya dengan 'oke' tanpa jempol.
Pentas di tengah lapangan sudah berlangsung beberapa menit yang lalu di awali sambutan sang ketua panitia dan perwakilan guru yang datang.Kemudian pentas dilanjutkan dengan pertunjukkan dari perwakilan panitia yang rupanya telah mempersiapkannya, yaitu redance lagu sebuah boyband Korea. Peserta LDK yang ternyata juga kebanyakan merupakan pecinta K-Pop tentu sangat antusias, apalagi dance dibawakan oleh panitia laki-laki yang memang tampangnya tak bisa di sepelekan. Kabarnya kak Dhimas pun dipaksa ikut untuk melengkapi formasi. Teriakan terdengar di sana sini memekakkan telinga. Meski begitu mereka semua menikmatinya.
Setelahnya adalah bagian perwakilan kelompok. Semua kelompok wajib mengirimkan satu pentasan di panggung. Entah itu stand up comedy ala-ala yang nyatanya mampu mengocok perut, puisi dadakan anak bahasa, seriosa dari paduan suara sekolah, dangdut dari biduan sekolah, pantun gombal khas anak ips, atau akustikan khas anak senja.
Meski bukan anak senja, tapi Zaki termasuk di dalamnya. Berhubung tak ada yang mau dan bisa mewakili kelompoknya, akhirnya Zaki maju dengan ekspektasi tinggi hasil ide gila nya malam ini. Menepiskan rasa ragu yang sejak tadi menghinggapi.
Terduduk di kursi kayu yang tak familiar, Zaki memangku gitar kayu itu sembari menggenjrengnya menyesuaikan nada, setelah dirasa pas Zaki berdehem di depan microphone melatih kerongkongannya. Yang tak disangka malah di sambut tepuk tangan dari yang menyaksikan. Matanya menyisir kubangan manusia dihadapannya.
"Zaki Dhin." Ucap Ayu antusias melihat raut wajah Nadhin.
"Tuh senyum ke lo tuh." Heboh Ratih ikut-ikutan.
"Ish diem." Lirih Nadhin sembari membalas senyum Zaki tipis.
Meski dalam penerangan yang kurang bagus karena Nadhin memilih duduk di hampir barisan paling belakang, ternyata Zaki masih dapat menemukannya. Bahkan sekarang banyak kepala menengok mencari sosok yang Zaki cari. Sontak membuat Nadhin ingin menutup wajahnya seketika.