.
."Jak, lo disini?" Semua yang awalnya menunduk memainkan ponsel kini menoleh penuh ke sumber suara, terlihat Karin berjalan mendahului yang lain.
"Wow, bisa kebetulan gini ya. Jangan-jangan kita.." Zaki melihat mereka berjalan menuju meja tempat ia duduk.
"Masih cuma temen." Angga menyahut.
"Iya sadar kok gue." Kelakar Zaki membuat para ciwi-ciwi yang sudah duduk rapi sembari mulai memilih menu terkekeh kecil. "Masih cuma temen, belum pacar."
"Kode nih Dhin." Karin menatap Nadhin yang lagi-lagi dibuat tak bisa berekspresi dan berakhir dengan kata—
"Apaan si."
Akhirnya mereka memilih ricebowl beef untuk mengisi perut mereka siang ini. Tak lupa Nadhin juga menelfon adiknya terlebih dahulu dan izin untuk pulang telat.
"Nggak usah pulang aja sekalian, udah tau kalo gue tidur nggak bisa bangun sendiri. Salah lo ya kalo mama udah pulang tapi gue masih molor."
"Dih, makannya nggak usah tidur. Bodo,gue tutup."
"Siapa Dhin?" Melihat Nadhin sudah mengakhiri panggilan,Zaki menatapnya seraya Bertanya.
"Adek gue." Jawab nya singkat tanpa mau menatap balik Zaki.
Setelahnya mereka fokus ke ponsel mereka sendiri sembari ngobrol-ngobrol seputar kejadian disekolah, hingga makanan datang.
Setelah selesai mengisi perut,Nadhin melirik arloji ditangannya, sudah hampir jam dua. Lalu ia menyarankan untuk sholat dimushola. Setelah bertanya pada pegawai disana,mereka diarahkan menuju mushola yang terletak di belakang bangunan itu.
"Dhin.."
"Zaki ih, jauh-jauh." Nadhin mengelak menghindari uluran tangan Zaki yang hendak menyentuhnya.
Namun Zaki malah mengulurkan tangannya lebih dekat dengan tangan Nadhin yang tengah memegangi mukena, pura-pura meraih-raih nya meski Nadhin mati-matian menghindar.
"Nanti gue batal."
"Ya biarin, wlee." Zaki memeletkan lidah mengejek. Lalu menggeser duduk nya sedikit dan menggoda Nadhin dengan menarik ulur tangannya mencoba menyentuh Nadhin.
Meski bercanda Nadhin agak kesal dibuatnya. Apalagi di dalam mushola baru mereka berdua disana. Yang lain masih bergilir untuk mengambil wudhu.
"Hayo!" Zaki menggertak, tangannya hampir saja menyentuh lengan Nadhin. Nadhin terkejut dibuatnya, sampai rasanya mau marah. Matanya melotot menatap Zaki di sampingnya.
"Ih, lo tuh ya." Nadhin tak dapat berekspresi. Hanya dapat tersenyum getir, geram juga sebenarnya. Tapi Nadhin memilih senyum. "Sana ah,"
"Itu senyum apa psikotropika? Kok menenangkan." Zaki refleks menatap Nadhin yang tengah tersenyum, Nadhin tak tahu harus berekspresi apa menghadapi Zaki yang mode jahil ini.
Dan lagi-lagi berakhir di kata "Apaan si. Duduk sana, dzikir kek, ngapain kek."
"Coba pake mukena nya Dhin." Setelah melihat kenampakan mukena berwarna biru muda yang di peluk Nadhin, Zaki penasaran bagaimana penampakan wanita itu jika memakai mukena.
"Kenapa?"
"Ya kan mau sholat, masa make singlet." Nadhin menyesal telah bertanya demikian.
"Entaran aja, sama temen-temen."