.
.
Sebenarnya Zaki kurang puas dengan ajakan pertemanan Nadhin yang ia jadikan awal untuk memulai kedekatan mereka. Zaki juga tahu persis isi hati seorang wanita ketika di ajak pdkt, yang pasti Nadhin tak mau terlalu cepat memberi harapan dan jika akhirnya tidak cocok pun tidak akan terlalu fatal akibatnya.Pagi-pagi buta, Zaki sudah menggalau saja. Berpangku tangan di meja belajarnya yang ditata dekat jendela dengan setengah tirai terbuka, takut ada Wewe gombel apel pagi dan membawanya pergi, begitu ucapan mamahnya yang masih terngiang saat Zaki kecil ingin keluar rumah di pagi buta. Untuk pertama kalinya Zaki benci hari minggu, karena apa? Karena Zaki tak bisa bertemu dengan Nadhin. Entah virus apa yang sudah menjangkiti Zaki rasanya rasa rindu ini muncul tetiba setelah tadi malam akhirnya tidak bisa tidur membayangkan senyum dan lambaian tangan Nadhin saat gadis itu di bonceng Hanan pulang.
Ah! Kepalanya sekarang penuh dengan Nadhin. Kembali.
Ceklekt!
"Allohuakbar!!" Kejut Zaki saat asik melamun, dirinya hampir saja terjatuh dari kursi yang ia duduki karena pintu tiba-tiba terbuka dan dengan penampakan mamah nya mengenakan mukena hitam. Ternyata bukan mukena putih malah menambah kesan seram.
"Allohuakbar!" Mamah Zaki pun ikut terkejut mendapati anaknya berteriak kaget. "Apaan si, orang mamah inih. Kirain belum bangun." Ucapnya melihat Zaki sudah memakai sarung pemberian eyang saat di khitan dulu.
"Udah. Udah jadi pawang gajah juga malah." Jawab Zaki sembari melepas sarungnya.
"Mana ada gajah, ngaco. Kamu tuh, udah ada pawang belum?" Haduh, mamah nya ini. Bisa saja membuat Zaki mendecak sebal. Giliran saat ia pacaran dengan Ghea dulu malah dilarang-larang. Maunya apa sih?
"dih, gak percaya. Nih-" Zaki meletakkan sarungnya di karpet. "Gajah! Duduk!" Titah Zaki pada sarungnya dikarpet.
Sedetik, dua detik, tiga detik, empat detik, lima detik.
Zaki paham betul mamah nya pintar hingga bisa melahirkan anaknya yang bisa meraih peringkat tiga besar dikelasnya. Tapi untuk soal jokes receh anaknya mamahnya selalu bodoh, atau pura-pura tidak paham? Entahlah. Mungkin lebih tepatnya tidak mau diajak gila.
"Masih pagi De, tidur lagi aja, ya." Ucap mamahnya sebelum menutup pintu.
"Untung, gue sabar dan genteng." Ujar Zaki mengelus dada sebelum menyambar sarungnya dan melipatnya, meletakkan kembali barang itu di atas sajadah tempatnya solat tadi.
Bruk! Akhirnya Zaki melemparkan diri kembali ke singgasananya. Mencoba menutup mata, namun bayang-bayang Nadhin yang tersenyum membuatnya terjaga lagi. Ah! Se dalam ini kah rasanya memiliki perasaan?!
"Enak di lo. Tapi nggak enak di gue Dhin." Keluhnya dramatis.
-----
Minggu, hari terakhir dari putaran hari di satu minggu, harinya orang-orang untuk beristirahat dan bermain dengan keluarga dirumah. Namun nyatanya, kalimat itu tak berlaku di organisasi ini. Organisasi yang tak kenal hari apalagi jam.
Ya, inilah OSIS. Bisa dibilang OSIS ini tulang punggung nya sekolah meski tugasnya bukan mencari nafkah, hehe. Hampir semua acara ataupun event akan selalu dipercayakan kepada organisasi ini, membuat anggota di dalamnya haruslah dipilih dari yang terbaik dan siap menerima segala konsekuensi yang tentunya sudah mereka ketahui. Berdirinya mereka disini pun karena telah melalui proses seleksi panjang nan melelahkan. Dan untuk melanjutkan kinerja mereka, mereka haruslah menjunjung tinggi standar yang telah ditetapkan jauh dari tahun bakti mereka. Maka dari itu, mereka hari ini disini. Menyiapkan segala keperluan untuk memilih dan memilah siapa saja diantara para pendaftar yang akan ikut menjadi bagian dari mereka, tentunya setelah melalui serangkaian seleksi panjang nantinya.