"Boleh nggak?" Pagi ini Nadhin sudah siyap dengan hoddie pendek nya dan juga sepasang sneaker yang menghiasai kakinya. Hanya saja, kaya iya belum juga keluar dari bibir mamah nya setelah Nadhin meminta izin dan menjelaskan semuanya.
"Kenapa Hanan nggak ikut?" Apakah Hanan adalah orang yang wajib dibawa kemana-mana? Tentu tidak Mah. Begitu pikir Nadhin.
"Hanan mau pergi sama temen nya. Jadi nggak ikut." Jelas Nadhin sembari meneguk segelas susu yang mamah nya buatkan. Tumbenan memang.
"Zaki yang diceritain Bapak itu kan. Yang ngajak keluar itu?" Agaknya Bapak bercerita soal Zaki yang saat lalu mengajaknya keluar.
"Iya, yang itu."
"Beneran temen kan? Cuma temen?"
"Iya. Cuma temen. Boleh?"
"Suruh kesini coba, ijin sama mamah langsung berani nggak?" Nadhin dimeja makan jadi diam memandangi mamah nya yang tengah menyiapkan bekal untuk Bapak.
"Nggak perlu mah."
"Yaudah nggak usah pergi kalo gitu." Ancam Mamah nya santai.
"Seriusan ini gak boleh? Yaudah nggak papa." Pasrah Nadhin seperti biasa. Baginya iya orangtua adalah iya nya sang pencipta. Apapun itu. Dan jika tidak boleh, ya tidak apa-apa menurutnya. Lalu Nadhin bergegas mengabari Zaki.
"Sekali-kali dibolehin kenapa si Mah. Lagian libur, udah nyuci juga."
"Bapak udah ketemu Zaki, baik kok anaknya. Sopan. Lawak juga keliatannya. Ya kak?"
"Iya, lawak banget." Nadhin mengangguk setuju soal itu.
-----
"Masa sih gue lawak? Enggak ah. Gue kan kul begini kaya kulkas dua pintu." Zaki melihat Nadhin tertawa dari spion yang ada.
"Gegara helm nya lupa dilepas kali, kan waktu itu lo lupa lepas helm kan."
"Sampe di kata takut keruntuhan langit." Keduanya tertawa diatas motor matic mamah Zaki yang Zaki pinjam secara paksa.
Sudah Nadhin tetapkan, mungkin sejak hari ini atau bahkan kemarin, dia tak perlu lagi merasa malu dan enggan bertemu Zaki hanya karena perkara pernyataan Zaki di malam itu. Faktanya Zaki tak menyinggung bahkan mempertanyakan jawaban atas pernyataannya itu. Jadi untuk apa Nadhin terlalu membebankan itu dipikirannya.
Senyum yang Zaki lihat dari kaca spion terlihat indah seperti biasanya. Malah lebih lepas dan Nadhin terlihat menikmati itu. Awal mengenal Nadhin, Zaki pikir ini akan sulit karena Nadhin terlihat cuek dan sangat irit berbicara. Bahkan hampir setiap pertemuan selalu di dominasi oleh zaki yang banyak berbicara dari awal hingga akhir. Hingga membuat Zaki sempat putus asa.
Namun sepertinya, Nadhin mulai mau membuka diri dengan kehadiran Zaki. Atau hanya sedang mencoba membiasakan diri? Entahlah.
-----
Deru motor Zaki kian melamban setelah menemukan kenampakan Genta yang tengah melakukan pemanasan di dekat motor hitamnya.
Biasa aja, biasa aja.. dikte Genta pada dirinya sendiri.
"Udah sarapan?" Tanya Genta pada Nadhin menyudahi pemanasannya. Lalu duduk di bangku dekat sana.
"Gue si udah." Sambar Zaki tiba-tiba. Lalu mendudukan dirinya tepat di samping Genta duduk, yang padahal Genta sangat berharap Nadhin yang disana.
"Gue nanya Nadhin bukan elo."
Sumpah, ni anak nyebelin banget.
"Udah gue." Jawab Nadhin.