27. Memilih

184 18 1
                                    

"Kalau bisa dua, kenapa harus satu?"

~Riri~

_________________

Happy Reading:)

Denta:
|Gw brngkat sm Luna.
Mama skit, jdi gw ga smpet jemput
Riri.

Arkan tersenyum tipis tanpa bisa dicegah, memasukan kembali ponsel kedalam saku celana seragamnya pagi ini tanpa berniat membalas. Denta sempat meminta Arkan untuk menjemput Luna, karena Denta terpaksa tidak bisa mengantar cewek itu.

Arkan tidak perlu bertanya untuk tau kemana Denta sampai tidak bisa mengantar Luna, yang tidak pernah dia lepaskan.

Denta berniat berangkat sekolah bersama Riri. Riri memberi tahunya semalam saat Arkan menawarkan untuk ke sekolah bersama, namun Riri menolak. Cewek itu bilang kalau Riri akan pergi bersama dengan Denta, karena sahabatnya itu sudah mengajak lebih dulu.

Wajar sebenarnya, keduanya berpacaran. Tidak ada yang aneh dari orang pacaran yang berangkat ke sekolah bareng, itu amat sangat umum. Yang aneh disini adalah perasaan Arkan, satu-satunya yang merasa tidak bisa bisa menganggap itu wajar.

"Pa, Arkan berangkat dulu, " pamit Arkan setelah mencium punggung tangan papanya yang tengah meminum teh nya sambil membaca beberapa berkas.

"Iya, hati-hati nyetir motornya."

Arkan mengangguk, berlalu menuju dapur untuk lanjut berpamitan dengan sang mama. "Arkan berangkat dulu, Ma."

"Jangan ngebut loh ya!"

Sambil mencium pipi kanan mama, Arkan mengangguk singkat.

Arkan bergegas mengendarai motornya dengan ritme santai. Masih setengah tujuh kurang, jadi Arkan tidak perlu terburu-buru untuk ke sekolah. Arkan lagi-lagi tersenyum, terbayang bagaimana Riri yang mungkin sedang menunggu sambil celingukan seperti anak kecil lepas dari gandengan ibunya saat ditempat ramai.

Pertama kali Arkan berbicara dengan Riri juga persis seperti itu. Riri berjongkok dipinggir jalan sambil menangis, lantas matanya yang bulat penuh harap itu menatap pada Arkan. Pagi itu, dimana Arkan untuk pertama kalinya tertarik menatap mata bulatnya berlama-lama.

Dan, benar saja. Riri benar-benar tengah berjongkok didepan gerbang rumahnya dengan tas punggung yang tengah ia gendong, sementara kedua tangannya memeluk paper bag.

"Kayak, kalo lagi nunggu sesuatu lo emang hobi banget buat jongkok gitu ya?" Arkan berbicara setelah mematikan mesin motor dan membuka helmnya, menatap pada Riri yang berkedip bingung.

"Kak Arkan ngapain? Mau jemput temen? Tapi, emangnya ada ya teman kak Arkan di Deket rumah Riri? Kok Riri nggak tau?"

Gemas, Arkan tidak bisa menahan diri lagi untuk menyentil jidat cewek pendek dihadapannya itu.

"Kalo nanya itu satu-satu, lo bukan wartawan." Arkan menatap pada rumah Riri yang masih sama saja seperti yang terakhir ia lihat, sepi. Kemudian beralih menatap Riri yang juga menatapnya, "Gue mau jemput Lo."

"Tapi Kak Arkan, Riri udah bilang log semalem kalo Riri mau berangkat sama-"

"Denta berangkat sama Luna, dan nggak bisa jemput lo."

Mulut Arkan ini emang ya, lemes banget. Riri jelas saja langsung diam setelah mendengar hal tersebut, apa lagi alasan yang disebutkan Arkan adalah Luna. Luna, Luna, Luna. Luna selalu menjadi prioritas Denta.

Arkan mengangkat alis, "Lo kecewa? Karena Denta batal jemput lo?"

Seperkian detik, Riri segera merubah raut sedihnya menjadi senyum lebar. Kepalanya menggeleng antusias, membuat beberapa helai rambut yang hari ini dibiarkan nya tergerai ikut bergerak.

RIRI || Heartbreak! (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang