35. Lelah.

164 16 6
                                    


"Ku kira aku bisa bahagia, tapi semesta memang lebih senang bercanda."

~Riri~

__________________

Happy Reading:)

"Kamu yakin nggak ada urusan sama dia?" tanya Bunda untuk yang kesekian kalinya pada Riri.

Orang yang di maksud Bunda adalah Denta. Tadi sewaktu Bunda datang, kakak kelasnya itu seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tak kunjung bersuara sampai Bunda memutuskan menyapa keduanya. Denta memperkenalkan diri tentu saja, tapi Riri lebih dulu mengonfirmasikan pada Bunda bahwa Denta adalah kakak kelasnya di sekolah.

Tidak ada yang salah kan? Denta memang kakak kelas Riri di sekolah. Jadi, Riri harus di buat bingung sekali lagi begitu Denta menatap tajam ke arahnya selama beberapa saat.

Akhirnya, dengan raut yang sama sekali tidak enak, Denta pamit pulang. Dengan bebarapa es krim untuk Ara, berikut kue yang di sarankan Riri.

"Hm. Tadi kak Denta minta rekomendasi es krim dekat sini aja, terus Riri bantu, " sahut Riri, menggandeng lengan Bunda.

"Are you serious?"

Riri mengangguk. "Jadi, Bunda pengen kue apa?"

"Kamu mau apa? Apapun buat kamu hari ini."

Riri tersenyum senang, terlihat sangat bersemangat.

"Nanti aja ya Bunda pesan kuenya, Riri pengen jalan-jalan sama Bunda. Boleh?"

Bunda mengangguk setuju, hari ini dia memang berniat menemani anak perempuan nya itu. Menuruti apa-apa yang di minta Riri.

Keduanya berjalan keluar dari toko kue untuk menyusuri taman kota yang terasa semakin ramai. Umum nya, kebanyakan yang datang adalah sejoli yang tengah bermesraan atau kumpulan remaja, tapi datang dan membunuh waktu dengan Bunda disini sudah amat cukup untuk Riri.

Riri akan melupakan lukanya sejenak, ia akan bahagia sampai petang nanti bersama Bunda. Mungkin, ia juga bisa membujuk Bunda setelah itu agar membiarkan dirinya untuk terus berada di samping Bunda. Apapun. Yang jelas untuk saat ini Riri hanya ingin menikmati waktunya.

Tanpa Ayah. Tanpa keluarga besar Bunda. Tanpa orang-orang yang menyakiti perasaannya.

Tanpa tahu, bahwa setelah bahagia yang dia rasa, selalu ada luka yang lebih hebat menanti nya.

🍭🍭🍭

"Papa dimana? Mama minta di jemput katanya?"

Arkan membuka tutup botol minumannya setelah barusan menelpon papanya dan meletakkan ponsel di sebelahnya. Sore ini Arkan latihan basket, sendirian. Bukan latihan memang, hanya sedang membunuh waktu dan merenungkan apa yang tengah dia rasakan saat ini.

"Lagi di jalan, mau balik kantor tadi abis ketemu klien. Cuma nggak tau ini bakal macet atau nggak, semoga sih nggak."

Arkan mengangguk, meski tau Papa nya tidak akan melihat itu. "Kalau kelamaan, bilang Arkan ya, biar aku aja. Kasian mama kalo kelamaan nunggu."

"Siap. Meski papa yakin obrolannya dengan dokter yang kebetulan sama-sama perempuan tidak akan berakhir secepat itu," ucap Papa nya diikuti gelak tawa.

Arkan terkekeh.

"Yaudah, Papa tutup—wait." Papanya terdengar seperti terkejut, Arkan melihat layar ponsel lagi, dan telpon masih tersambung.

RIRI || Heartbreak! (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang