Chenle, OC
Fantasy
©fedmydream°°°
Suara benturan antara nampan besi dan lantai kantin membelah udara. Keheningan seketika menyeruak dengan cepat disusul puluhan mata tertuju pada sumber suara, Zhong Chenle yang tersungkur di bawah kaki Lee Jeno. Tidak mengindahkan perhatian, Chenle segera meraih nampannya dan kembali mengantre dengan rapi. Di belakangnya, kumpulan anak laki - laki tampak terkikik. Melihat hal tersebut, aku tanpa sadar segera bangkit sebelum Jieun menahan lenganku.
“Kau mau ke mana?”
Kedua tanganku terkepal. “Memberi pelajaran pada pria Lee itu.”
Jieun menghela napas sebelum sekuat tenaga membuatku tetap tinggal. “Jangan ikut campur, kau akan terkena masalah nantinya. Kau tahu, bukan, Chenle memang sering jadi korban perundungan.”
“Tapi Chenle itu temanku, Jieun. Aku tidak bisa berdiam diri seperti aku tidak melihatnya,” kataku nyaris menggebu - gebu. Wajah Jeno yang menyeringai berputar dalam kepalaku. Astaga, aku ingin memukulnya. Kemampuan bela diriku menjadi sia - sia jika seperti ini caranya.
“Tetap tidak, princess. Kau bisa menemui Chenle nanti, seperti yang biasa kau lakukan,” ungkap Jieun.
Aku baru akan protes jika saja kedua alis milik Jieun tidak menukik. Cengkeramannya semakin kuat; kode mutlak. Demikian aku menyerah dan memilih tetap diam di tempat seraya melempar pandangan pada Chenle. Pria itu tampak baik - baik saja sejujurnya, ia juga menerima makanannya dengan baik, bahkan kelewat ceria. Tanpa sadar Perasaan sedih melingkupi hatiku saat menyadari bahwa Chenle nyaris tidak pernah melakukan apa pun untuk membela diri. Ia tetap tersenyum, seperti tidak ada hal buruk yang terjadi.
“See? Your Chenle is fine,” Jieun berceletuk.
Jangan tanya siapa yang meringis setelah pukulan mautku melayang.
~*~*~
Di bawah langit senja, aku mengejar Chenle di antara kerumunan anak - anak. Bel pulang baru saja berbunyi dan aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menemuinya hari ini. Sepanjang kelas, aku kehilangan fokus pada anak itu karena kuis dadakan Guru Kim, niatku untuk berbicara padanya seketika tenggelam oleh cerita sejarah negara - negara di Dunia.
Ransel merah milik Chenle meliuk - liuk seakan mengejekku yang berjuang meraih punggungnya. Chenle selalu melangkah dengan cepat seakan tidak ada waktu untuk berjalan esok hari, hal itu membuat langkahku semakin sulit sebab berada di antara lautan manusia yang ingin cepat pulang. Sejujurnya, aku adalah tim siswa yang pulang terakhir, kala langit telah gelap demikian lorong akan melompong.
Beruntung aku dapat meraih bahunya tepat setelah kami bebas dari lorong. Pria itu tampak terkejut lalu berbalik dengan ragu. Begitu tampak diriku yang menyambutnya dengan antusias, wajah takutnya seketika berubah lega.
“Chenle, aku ingin pulang bersamamu,” kataku.
Senyum pria itu lantas mengembang disusul kedua tangannya yang terangkat untuk memberikan tanda. “Boleh, tapi aku harus mampir ke supermarket terlebih dahulu.”
“Bukan masalah. Aku akan menemanimu.”
Demikian kami pun berjalan secara beriringan menuju supermarket. Tidak ada patah kata yang terucap, kami berkomunikasi melalui kepiawaian jari, sekaligus melatih kemampuan bahasa isyaratku. Chenle dengan penuh semangat bercerita tentang kesehariannya yang menyenangkan. Dia bermain bersama Jisung selama kelas berlangsung menggunakan catatan kotor, mengobrol tanpa diketahui seorang guru pun. Aku menatapnya, sesekali memperhatikan rambut cokelat pekat milik pria itu yang menyatu bersama warna senja. Chenle tampak indah dengan caranya sendiri.
Namun secara bersamaan, tampak menyakitkan untuk kudekap lebih lama.
Ada banyak hal yang ingin kuutarakan padanya, tentang hal - hal di luar dunia warna - warni gulali yang selalu ia ceritakan. Sebagai teman yang telah bersamanya sejak sekolah dasar, keindahan Chenle bak gugur tertutupi kelebihan yang Tuhan berikan. Tidak ada yang ingin menemaninya. Kata mereka, sulit untuk mempelajari bahasa isyarat. Saat itu, untuk pertama kalinya aku meneriaki teman - temanku sebagai orang bodoh dan berjuang keras sampai menangis untuk mempelajari bahasa yang Chenle gunakan.
“Chenle, aku ingin mengatakan sesuatu.”
Aku memberanikan diri setelah kami selesai berbelanja di supermarket.
“Katakanlah,” Chenle tersenyum lembut.
“Kau bisa berbaginya bersamaku, kau tahu itu’kan? Hal - hal yang sulit di sekolah, kau bisa memberitahuku dan aku akan membantumu,” rasanya sangat sulit untuk berkata demikian pada temanmu sendiri. Aku tidak ingin membuatnya merasa rendah, tetapi secara bersamaan, yang ingin kulakukan hanyalah membantunya.
Alih - alih menjawab, Chenle justru tertawa, sukses menggelitik hatiku. Aku terdiam memperhatikan lengkungan sabit itu sebelum tanpa sadar ikut tertawa bersamanya. Bagiku, tawa tanpa suara itu adalah salah satu momen yang paling indah. Oh, harus’kah aku mengatakannya lagi? Chenle benar - benar indah dengan caranya sendiri.
“Kau mau tahu sebuah rahasia?” Matanya tersorot penuh jenaka.
Tanpa babibu lagi aku segera mengangguk. Seperkesian detik, mataku terbelalak saat Chenle menyimpan kantong belanjanya di tanah lalu dengan lembut menggenggam kedua tanganku. Tidak ada yang bisa kudengar selain degup jantung diriku sendiri yang menggila. Astaga, jangan katakan jika tawa Chenle yang kembali pecah akibat penampilan wajahku yang semerah tomat. Aku lantas menggigit bibir menunggu hal lain yang akan datang, tetapi itu seperti sesuatu baru saja mengubah hidupku untuk selama - lamanya.
Aku spontan melepaskan tautan tangan kami begitu melihat rambut Chenle berubah seperti gulali. Tidak sampai di situ, pakaian yang dikenakan pria itu juga berubah menjadi sepasang set piyama berwarna biru langit.
“Chenle, apa yang baru saja terjadi?” kedua jariku memberi tanda dengan panik.
Chenle hanya tersenyum sebelum kembali menggenggam kedua tanganku dan semuanya kembali normal. Tidak ada rambut gulali, tidak ada piyama, Chenle hadir dalam pandanganku seperti biasa. Dahiku spontan berkerut bingung, aku tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Tawa miliknya kini bergeser menjadi hal yang penuh tanda tanya.
“Chenle,” aku tidak pernah merengek seperti ini sebelumnya.
Chenle lantas berhenti tertawa lalu meminta maaf. Kemudian setiap gerakan jari yang ia tunjukkan membuat rahangku jatuh sepenuhnya.
“Aku memiliki kemampuan yang unik. Aku bisa mengubah pandangan apa pun dengan hal yang kuinginkan. Aku bisa melihat dirimu sebagai sosok pangeran, sosok presiden, atau bahkan seekor katak. Aku juga bisa mengubah kota ini dalam pandanganku seperti dunia sihir Harry Potter atau yang lainnya. Itulah mengapa aku tidak pernah bersedih jika teman - teman mengucilkanku ataupun mengejekku, karena dalam pandanganku, mereka hanyalah segelintir batu - batu di sungai ataupun jeli - jeli yang biasaku makan.”
“Sejak kapan kau mendapatkan kemampuan ini?” Aku tidak percaya aku masih bisa berbicara setelah mendengar fakta mengejutkan tersebut.
Chenle tersenyum begitu manis. “Sejak aku kecil. Awalnya tidak ada yang mempercayaiku, tetapi aku bisa membuat mereka melihat apa yang kulihat,”
Mataku melebar saat Chenle kembali menggenggam kedua tanganku, kali ini lebih erat. “Dengan cukup menggenggam kedua tangan mereka.”
Saat itulah jantungku mencelos kala melihat pakaian Chenle berubah layaknya seorang pangeran sedang diriku terbalut gaun putih layaknya seorang putri, beserta diri kami yang berada di bawah altar kerajaan.
°°°
#30DWC
#30DWCJilid31
#Day3

KAMU SEDANG MEMBACA
SHALLOW - NCT Dream
Fanfiction[TAMAT] 💌 Kumpulan drabble/ficlet Dream dalam alur yang berbeda - Thursday, 210121 - Wednesday, 220615