Jeno, Renjun
Ambiguous
©fedmydream°°°
“Kau tidak bisa lari ke mana pun lagi.”
Di bawah selimut malam yang bertabur bintang, Jeno berdiri di ujung gedung pencakar langit bak seorang pahlawan. Angin tidak berhenti berhembus kencang untuk menggigit kulit dalam dingin, tetapi Jeno bahkan tidak berkutik. Kegelapan tidak serta merta memadamkan rupa menawan dari balik tudung yang pria itu kenakan, cahaya bulan justru dengan lembut menyingkap rahang tegas sang empu. Kedua maniknya menatap lekat sosok pria yang berada tak jauh dari hadapannya, menggunakan pakaian formal berjas hitam.
Pria tersebut kemudian melangkah maju, menahan pergerakan Jeno lebih lanjut. Bukan tanpa alasan, melainkan di belakangnya adalah jurang kematian; ketinggian dengan jalan raya di bawah gedung. Namun, Jeno tidak menampakkan emosi apa pun.
“Ada kata-kata terakhir?” tanya sosok berjas tersebut. Rambut hitamnya menari indah di antara keganasan angin malam. Pria berperawakan mungil itu kemudian tertawa kecil sebelum tangannya bergerak menyingkap jas untuk mengeluarkan pistol.
“Jeno,” pupil cokelatnya menusuk manik hitam milik Jeno, “Kau tahu, aku selalu berada di sisimu, bukan?”
Beton di bawah kaki Jeno terasa amat dingin meski tebalnya sepatu melindungi kulit pria itu. Memutus kontak, mata Jeno lantas beralih menatap ketinggian di belakang. Tubuhnya bahkan terlalu kecil untuk ditangkap mata para manusia di bawah sana, keheningan malam yang sempurna untuk kejutan kematian bagi semua orang.
“Renjun.” Jeno menatap sosok di hadapannya.
Pemilik semesta cokelat bernama Renjun itu tersenyum. Mengenal Jeno selama sepuluh tahun membuat pria itu nyaris mengetahui semua hal tentang sang sahabat. Di ujung waktu kala malaikat maut menjemput pun, Renjun masih menemukan Jeno sebagai sesuatu yang menarik dalam hidupnya. Momen yang mereka lalui akan selalu membekas; dua manusia bertopeng yang bersembunyi dan memilih tumbuh sebagai duri di kelamnya dunia.
Ah, sayang sekali, batin Renjun menggumam.
“Kau tahu pilihanku, bukan?” Jeno masih menatapnya.
Renjun mengangguk. “Tentu saja. Kau lebih memilih melompat ketimbang mati di tanganku,” lalu ia menyimpan senjatanya kembali sebelum melipat tangan di dada, “Silakan.”
Kemudian, seperti waktu yang tertarik bagi keduanya, Jeno melemparkan diri. Bukan untuk ditangkap kematian, melainkan disentak kenyataan di bawah ranjang. Kepala pria itu berputar, napasnya tercekat, paru-parunya terasa terbakar. Sepersekian detik, tepat setelah tubuhnya mendarat, kedua mata Jeno terbelalak.
Tidak ada malam, tidak ada gedung, tidak ada ketinggian. Kini pria itu berada di sebuah ruangan bercat putih yang penuh dengan deretan bangsal kosong, menjadikan Jeno sebagai satu-satunya penghuni bangsal. Melalui beberapa jendela yang tersingkap tirainya, pria itu bisa melihat langit biru di luar sana. Jam dinding memperjelasnya dengan menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Atas semua hal yang terjadi, Jeno tidak bisa merasa lebih lega saat menemukan dirinya masih bernapas. Tangannya yang terbebas dari jarum suntik bergerak perlahan di bawah kulit, sekadar memastikan bahwa ia sungguhan hidup tanpa satu pun luka yang tertinggal. Memadamkan pacuan adrenalin, Jeno lantas berpikir keras tentang apa yang menimpanya, juga bagaimana dirinya dapat berakhir di tempat ini.
Namun, Jeno tidak mengingat apa pun.
Tidak lama kemudian, pintu ruangan pun terbuka. Beberapa orang berpakaian jas putih masuk dengan tergesa-gesa untuk mendekatinya, tangan mereka penuh dengan kertas catatan. Jeno tidak memberontak, tidak, ketika kedua kakinya diikat pada ujung bangsal menggunakan rantai. Rasanya tidak sakit sebab seseorang telah membalut kulitnya menggunakan kain putih berlapis.
Orang-orang yang tidak Jeno kenal itu tidak melakukan apa pun selain pemeriksaan normal; detak jantung, bola mata, rongga mulut. Salah satu dari mereka bahkan melepaskan infus dari tangan kanannya. Tidak ada kalimat yang terungkap, mereka berkomunikasi menggunakan kode yang tidak Jeno ketahui. Pria itu hanya menyimak dalam diam, berusaha menangkap situasi yang terjadi. Namun nihil, Jeno tidak mendapatkan jawaban apa pun.
Tepat setelah orang-orang tersebut pergi, seseorang kembali datang untuk mengunjunginya.
Dalam satu tatapan, Jeno mengingat surai hitam dan manik cokelat tersebut. “Renjun…”
Renjun tampak puas atas respons yang diberikan. Dibalut kemeja hitam dengan warna celana senada, Renjun kemudian mendekati Jeno dan berdiri di sampingnya. Tanpa kata, pria itu mengeluarkan sesuatu dari balik tangannya sebelum menempatkan benda tersebut di atas nakas; sebuah apion kecil.
Mata Jeno memicing penuh antisipasi, tetapi tidak ada yang Renjun lakukan selain memutar apion tersebut. Dalam beberapa saat, benda kecil itu akhirnya bergulir jatuh ke lantai, menghilang di bawah bangsal pasien.
“Aku tidak bermimpi rupanya.”
Jeno baru akan berkata jika saja Renjun tidak mengeluarkan sebilah pisau dari balik punggungnya, berkilat begitu cantik tepat di depan wajah Jeno.
“Aku tidak bermimpi, Jeno.”
°°°
#30DWC
#30DWCJilid31
#Day22
KAMU SEDANG MEMBACA
SHALLOW - NCT Dream
Fanfiction[TAMAT] 💌 Kumpulan drabble/ficlet Dream dalam alur yang berbeda - Thursday, 210121 - Wednesday, 220615