Renjun, Mark
Ambiguous
©fedmydream°°°
Renjun menatap secarik kertas di tangan, memastikan kembali bahwa tinta yang tertoreh berhasil membawanya pada destinasi yang dituju. Di bawah langit siang bolong, mata pria mungil itu memicing ke arah bangunan di hadapannya; sebuah rumah tingkat bercat cokelat terang dengan papan angka tujuh di samping pintu. Penggambaran yang tepat seperti apa yang diberikan oleh Mark.
Ini sangat mengejutkan sekaligus, er, memalukan. Renjun tidak tahu bahwa Mark yang selama ini berkencan dengan Raya adalah teman satu jurusannya. Raya Soladova merupakan teman Renjun semasa SMA dan mereka melanjutkan pendidikan tinggi di universitas yang sama. Gadis yang selalu Renjun ejek tomboy itu mengejutkannya ketika ia berhasil menggaet seorang pria dalam hubungan ‘lebih dari teman’ di awal semester duanya.
“Kau Huang Renjun’kan? Anak kesmas kelas A?”
Hari itu, Renjun tidak sengaja memergoki Raya dan kekasihnya tengah berkencan di kantin fakultas. Tidak seperti biasanya, Mark tiba-tiba menghiraukan eksistensi Renjun dan menyapanya kala pria itu siap menyantap makanan. Tatapan bingung spontan tergambar di luar kepala sang empu, lebih memalukan untuknya saat Mark justru tersenyum dan mengulurkan tangan.
“Aku Mark, kita satu jurusan, tapi aku berada di kelas B.”
Iya, Renjun itu nolep, tapi jangan mempermalukannya di depan Raya juga, dong. Gadis itu langsung tertawa keras saat melihat kecanggungan di wajah Renjun.
Mark sendiri tidak ambil pusing. Setelah tautan tangan mereka terlepas, pria itu kembali fokus berbincang bersama Raya seakan-akan Renjun hanyalah iklan sesaat. Namun, Renjun bersyukur karena ia bisa menyembunyikan kejadian tersebut dengan langsung menyantap makanannya. Meski demikian, siapa yang menyangka setelah perkenalan canggung itu, mata Renjun menjadi lebih peka untuk menemukan punggung Mark di gedung fakultas. Kurang lebih tiga minggu, setelah melewati berbagai obrolan--dari obrolan dasar hingga obrolan luas--Mark pun sukses masuk ke dalam daftar teman Renjun.
Dan hari ini, Mark mengundangnya bermain ke rumah pria itu. Uniknya, ketimbang menggunakan share location seperti yang biasa digunakan di zaman serba canggih ini, Mark justru memberikan Renjun secarik kertas berisi alamat rumahnya. Beruntung, anak kesehatan masyarakat itu sudah terbiasa berbincang dengan masyarakat, jadi Renjun tidak tersesat.
Mark kemudian muncul dari balik pintu dengan balutan baju dan celana hitam. Pria itu mengenakan kacamata dengan warna senada. Rambutnya tampak berantakan, tetapi tidak menjadi masalah untuk dipandang mata. Renjun lantas tersenyum untuk menyapanya. Tanpa babibu lagi, kekasih Raya itu mempersilakan sang teman masuk ke dalam.
Sudah lama sekali bagi Renjun untuk pergi berkunjung ke rumah teman, sang ibu bahkan terkejut saat mendengar alasannya pergi. Jangan tanya alasannya mengapa, kalau Raya bilang, Renjun hanya terlalu menyukai dirinya sendiri sehingga enggan berbagi dengan orang lain. Lupakan saja.
Hal yang pertama kali menarik perhatian Renjun adalah bagaimana dinding rumah bagian dalam memiliki kesan yang berbeda dari dinding bagian luar. Cokelat terang adalah warna yang menggemaskan bagi Renjun, terlebih kala diapit oleh dua bangunan berwarna gelap. Namun, untuk menemukan pola-pola besar nan abstrak berwarna hitam yang mendominasi sebagian besar dinding putih membuat senyuman Renjun lenyap. Terlebih kala lampu tidak memberikan banyak bantuan, jendela-jendela besar yang tersibak tirainyalah yang membuat Renjun dapat melihat lebih lanjut dekorasi rumah keluarga Mark.
Semua didominasi oleh warna gelap; hitam, merah tua, biru tua. Selain itu, tidak ada sekat dinding di lorong utama, Mark memiliki rumah dengan konsep satu ruang besar dengan perabotan ditata sedemikian rupa agar tidak menonjolkan sisi yang kosong. Mata Renjun sesekali melirik kepala hewan yang tergantung di dinding dengan coretan tahun-tahun tua di papan. Tidak berhenti di sana, pria itu juga menemukan banyak ornamen-ornamen berbentuk aneh di sepanjang meja utama di sisi kanan ruangan, hampir memenuhi ujung setiap sudut sampai sebuah tiang kecil berhias kain menarik perhatiannya. Tunggu, kain?
“Itu benda apa, Mark?” jari Renjun bergerak menunjuk tiang di sudut ruangan, terpaku atas uniknya benda tersebut yang seluruh badannya dibalut kain berbagai warna.
Tangan Mark bertumpu di salah satu nakas, memandang Renjun yang balas menatapnya dengan penasaran. “Aku tidak tahu, benda itu sudah ada sejak aku pindah ke sini.”
Mulut sang teman lantas membentuk lingkaran kecil sebelum kembali menumpahkan rasa penasaran. “Apa barang-barang unik lainnya juga peninggalan pemilik rumah sebelumnya?”
Jari Mark bergerak kecil di bawah sorot mata hangat yang ia berikan. “Ya, begitulah. Kedua orang tuaku memutuskan untuk tidak membuangnya karena mereka yakin jika barang-barang tersebut adalah benda peninggalan yang bernilai tinggi.”
“Dan keluargamu membiarkannya terpajang ketimbang, um, kau tahu, menyimpannya di suatu tempat dengan kain tertutup,” ujar Renjun.
Namun, pria itu segera menyesalinya saat menyadari garis wajah Mark berubah kaku; sesuatu yang tidak pernah Renjun lihat sebelumnya. Renjun tidak bisa mengartikan tatapan Mark padanya sekarang. Ia baru akan meminta maaf jika saja sang teman tidak meloloskan tawa ringan bersama gelengan kecil. Pandangan sang empu kemudian jatuh pada baju putih dengan luaran kemeja motif sederhana yang dikenakan Renjun sebelum melirik tiang di sudut ruangan. Mengejutkan sang teman, Mark tiba-tiba mematikan lampu disusul suara tapak sepatu di udara; satu langkah maju untuk pria itu.
“Mark!?” Renjun spontan memekik saat satu persatu jendela di ruangan tersebut tertutup dengan meninggalkan suara keras. Manik kosong milik sang teman adalah hal terakhir yang Renjun lihat sebelum kegelapan menyelimuti pengelihatannya. Kelewat terkejut, pria itu kini membeku di tempat dengan tangan bergerak panik; mencari perlindungan.
“Mark, jangan bercanda, ini tidak lucu!” Kepanikan membuat intonasi suara Renjun meninggi juga dibalut amarah. Tepat setelah tubuhnya menemukan badan nakas, pria itu segera mengambil benda apa pun di atasnya. Sebuah tempat lilin yang tajam kini bergetar di genggaman tangan Renjun. Pria itu lalu menggerakkannya ke segala arah jika saja sesuatu tengah berusaha untuk melukainya.
“MARK!”
Sungguh, napas Renjun mulai memendek karena gelombang panik tidak berhenti menenggelamkan kedua kakinya dalam sentakan lemas. Sial, ini seperti adegan dalam film horor yang selalu ia tonton bersama Raya.
“Ada banyak hal yang tidak kau ketahui, Renjun.”
Renjun membeku kala suara Mark mengudara dari arah kejauhan.
“Soal diriku, soal keluargaku, dan soal sejarah gelap rumah ini.”
“M-Mark, sungguh, jika aku memiliki kesalahan terhadapmu, tolong maafkan aku! Jangan seperti ini, aku takut!”
Kedua lutut Renjun sudah tidak bisa menopang tubuhnya lebih lama setelah tawa kering milik Mark melewati telinganya, membawa sensasi menggigit pada seluruh tubuh hingga berakhir seperti jeli di lantai. Renjun bisa rasakan setiap jari tangannya bergetar, sukses melepaskan genggamannya terhadap tempat lilin yang ia dapat. Namun, begitu pria itu ingin meraihnya kembali, benda tersebut telah lenyap meski Renjun bersumpah tidak mendengar suara apa pun dan telah mencarinya dari jarak terjauh yang bisa digapai oleh tangannya.
“Jika aku tidak melakukannya, maka warna hitam akan semakin menyebar hingga ke lantai atas rumahku.”
“Apa m-maksudmu?”
Terdengar suara langkah. “Keluargaku tidak mengecat dinding rumah dengan pola-pola abstrak berwarna hitam, tetapi noda itu mencuat sendiri dari balik tembok dan mulai menutupi semua bagian dinding. Hal itu terjadi ketika kami mencoba untuk memindahkan barang-barang di tempat ini.”
Renjun merutuki dirinya yang terlalu panik sehingga menjadi bodoh. Dia memiliki ponsel di kantong celananya, astaga.
Sedang Mark tidak berhenti berbicara, “Namun, ketika kakakku jatuh dari tangga dan tewas di tempat, satu benda dapat dipindahkan tanpa meninggalkan noda hitam di dinding.”
Ponsel milik Renjun kemudian berhasil menyorot cahaya. Tanpa babibu lagi, Renjun segera mengarahkan benda tersebut ke segala arah untuk mendapatkan pengelihatan sampai wajah Mark adalah hal pertama yang muncul di hadapannya, tengah tersenyum lebar tanpa kacamata yang bertengger di hidung. Pupil matanya telah berubah warna menjadi putih.
“Jadi, kau tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, bukan?”
Renjun pun menjerit.
°°°
#30DWC
#30DWCJilid31
#Day28
KAMU SEDANG MEMBACA
SHALLOW - NCT Dream
Fiksi Penggemar[TAMAT] 💌 Kumpulan drabble/ficlet Dream dalam alur yang berbeda - Thursday, 210121 - Wednesday, 220615