Jeno, Renjun
Angst
©fedmydream
°°°
Jeno telah berdiam diri selama hampir sepuluh menit sejak suara bel terakhir berbunyi, tetapi tidak ada seorang pun yang membukakan pintu. Dahi pria itu berkerut. Seingatnya, ia telah membuat janji pada Renjun akan berkunjung. Namun, mengapa batang hidung pria itu tidak juga muncul? Jeno tanpa sadar mengulum bibir saat ujung jarinya kembali menekan tombol di sisi pintu sehingga informasi menggema di dalam rumah. Tidak lama kemudian, barulah terdengar suara langkah dan kunci yang berputar.
Alih-alih Renjun, sosok pria tinggi dengan surai cokelat madu justru muncul dari balik pintu.
“Siapa?” Suaranya berat, berbanding terbalik dengan keraguan yang terlintas di netra senada surainya.
Jeno, masih kebingungan, mencoba membalas. “Aku ingin bertemu Renjun.”
Kala sosok tersebut memicingkan mata, Jeno menyadari bahwa lawan bicaranya tidak lebih dari sekadar remaja kelebihan kalsium. Postur tinggi tidak dapat menyembunyikan gurat labil pada wajahnya yang meragu. Anak lelaki itu kemudian menghilang sebelum membuka celah pintu lebih lebar--mempersilakan Jeno masuk.
“Renjun sedang pergi ke supermarket. Katanya mau memasak sesuatu untuk seseorang. Aku harap orang yang dimaksud adalah dirimu.”
Mendengar hal tersebut, tepat setelah pintu tertutup, sebuah ide terlintas begitu saja dalam kepala Jeno. Pria itu tanpa sadar tersenyum lalu duduk di sofa sedang sang anak pergi menuju dapur dan kembali dengan satu gelas air beserta kudapan. Kemudian tuan rumah duduk berseberangan dengan Jeno.
“Kau seharusnya tidak membiarkan orang asing masuk.”
Satu kalimat dan anak itu langsung membeku di tempat. Ekspresi teror yang tercipta langsung membuat Jeno terbahak. Pria itu kemudian terjungkir oleh tawa karena kecepatan sang empu yang berlari mengambil ponsel dan menghubungi Renjun.
“Renjun, aku membiarkan pencuri masuk ke dalam rumah!”
Jeno langsung berseru, “Nama pencurinya Jeno!”
“Nama pencurinya Jeno!” Anak itu menjerit.
Jeno lantas semakin diaduk dalam tawa. Ia sudah bisa membayangkan bagaimana reaksi panik Renjun saat menerima panggilan, tetapi menjadi sangat tidak tertarik atas kekonyolan situasi yang mengatasnamakan dirinya. Hanya ada opsi terakhir; memastikan sambungan telepon. Anak itu pasti kebingungan sekali. Astaga. Jeno jadi merasa senang.
Namun rupanya, anak lelaki tersebut menghabiskan waktu lebih lama bersama Renjun. Entahlah, mungkin sang teman ikut meramaikan panggung sandiwara untuk menjaili sepupu-atau-saudara jauh-atau-siapa-pun-yang-membukakan-pintu-untuknya.
Jeno yang tengah bersandar tanpa sadar meluaskan pandangan hingga menyentuh anak-anak tangga tepat di belakang tubuhnya. Tawa pria itu tanpa sadar padam bersamaan dengan munculnya rasa ingin tahu. Jeno tiba-tiba penasaran apakah Chenle tahu bahwa dirinya tengah datang berkunjung.
Maka pria itu pun beranjak dari ruang tamu menuju lantai dua rumah Renjun tanpa mengindahkan si remaja lelaki yang berada di dapur.
Jeno sudah hafal pintu kamar Chenle di luar kepala, demikian ia langsung merajut langkah dan mengetuk pintu. Sebuah bidang kayu setinggi dua meter berwarna putih dengan beberapa stiker basket.
“Masuk.” Sebuah suara menyahut.
Jeno pun tersenyum lalu memutar knop pintu. Sebuah ruangan bernuansa biru dengan aksen lembut lantas menyambutnya, memanjakan sejenak netra Jeno setelah bertemu kemonotonan dinding krem lantai satu. Seperti biasa, deretan piala milik Chenle selalu menarik perhatian karena penempatannya yang mencolok oleh pancaran sinar matahari. Di dekat tiang basket mini dengan bola basket yang sama mini tersangkut pada jaringnya, terdapat Chenle yang duduk di atas kursi roda. Anak itu tengah tersenyum padanya.
“Jeno hyung.” Ada inner bintang-bintang pada matanya yang sekilas tampak sayu.
“Hey,” balas Jeno. Pria itu kemudian mendekat dan bersimpuh di hadapan Chenle. Anak lelaki itu tertawa kecil saat Jeno dengan jail menggelitiki lututnya.
“Apa kau sudah berjemur?” Jeno memulai dialog.
Chenle menggeleng. Ia tiba-tiba menjatuhkan senyum dan mengalihkan pandangan. Tanpa meninggalkan sendu, kesedihan kini ikut bersemayam pada garis wajahnya. Jeno yang melihat hal tersebut tanpa sadar bangkit dan berdiri di belakangnya. Genggamannya pada dua pegangan kursi roda tampak mantap.
“Lima putaran, seperti biasa?”
Chenle menengadahkan kepala untuk bertemu netra sang empu lalu mengangguk. Meski hampir tidak terlihat, ada harapan yang tersemat di sana. Jeno pun ikut mengangguk kemudian mengusak surai anak lelaki itu sesaat sebelum mulai mendorongnya mengitari ruang kamar.
Hal kecil yang menjadi rutinitas mereka.
Itu selalu menyenangkan untuk bermain bersama Chenle. Jeno akan menambah kecepatan dan adik Renjun tersebut akan menjerit kegirangan karena putaran yang mengocok perut. Jeno bahkan tidak ragu untuk menghentikan kursi rodanya secara mendadak sebelum kembali melaju dengan kekuatan tangannya. Hal ini semata-mata karena keduanya tidak bisa bersenang-senang di luar sana sebab Renjun akan memantau penuh pergerakan mereka. Satu kali Jeno mencoba mendorong kursi Chenle, suara Renjun sudah melintasi telinganya dengan penekanan.
“Harus hati-hati, pokoknya hati-hati!” katanya.
Chenle merasa keberatan. Sebelum kecelakaan menimpanya, ia adalah anak yang aktif luar biasa. Berakhir di kursi roda tentunya tidak lebih menjadi definisi penjara yang lain. Chenle lalu diam-diam meminta Jeno untuk merencanakan sebuah agenda kecil, hanya untuk mengingatkannya betapa menyenangkannya bergerak.
Demikian putaran di dalam ruangan pun menjadi rutinitas setiap kali Jeno berkunjung.
Sampai pintu kamar Chenle pun terbuka dan mereka membeku di tempat.
“Jeno, god…”
Semuanya berlangsung dengan cepat. Renjun berdiri di ambang pintu, tampak terengah-engah, pria itu menatap Jeno seakan-akan pria itu baru saja terpelanting, terjatuh, terluka, Jeno tidak yakin. Akan tetapi, satu hal yang bisa ia pastikan, Renjun tidak marah padanya. Alih-alih merah, semesta milik sang teman seperti memancarkan percikan api berwarna biru. Jeno lantas melepaskan genggaman pada kursi roda dan menoleh pada--
Tidak ada Chenle.
“Apa?” Pria itu merasakan napasnya menghilang.
Kemudian dua buah lengan merengkuhnya dengan erat. Jeno masih terkejut untuk menyadari bahwa tidak ada siapa pun di ruangan selain dirinya dan kursi roda milik Chenle. Suara Renjun terdengar amat jauh di telinganya.
“Jeno, dia tidak ada. Chenle sudah tiada.”
Jeno langsung melepaskan pelukan Renjun, tidak sadar telah mendorongnya dengan kasar. “Aku bersamanya! Aku melihatnya! Dia--dia duduk di sana, Renjun. Dia terlihat sedih, maka aku melakukan agenda kecil kami, aku mendorong kursi rodanya mengelilingi ruangan. Chenle bersamaku.”
“Jeno, itu memorimu. Kau masih belum bisa menerimanya, bahwa Chenle sudah meninggal sejak tiga bulan yang lalu,” meski amat berat, Renjun tetap mengatakannya. “Kau menabraknya, ingat?”
Demikian Jeno langsung jatuh terduduk bersamaan dengan munculnya sosok anak lelaki yang berdiri di dekat daun pintu. Jeno menerima tatapan prihatin sang empu dengan gamblang. Dadanya terbakar, tidak, kepalanya terbakar atas tumpah ruah memori pemakaman Chenle.
Renjun benar. Chenle sudah tiada.
°°°
Well, kalian berada di cerita terakhir pada laman SHALLOW. Yap, Sparks adalah penutup dari semua cerita-cerita pendek yang telah mengarungi kita selama kurang lebih satu setengah tahun ini. Sebelumnya, aku ingin mengucapkan terima kasih pada kalian semua yang telah membaca dan mengikuti SHALLOW hingga akhir. Bersama dengan dukungan kalian, kita sama-sama menyelesaikan laman ini♥️
Dan ada sesuatu yang akan aku umumkan berkaitan dengan SHALLOW nanti malam, see you!✨
KAMU SEDANG MEMBACA
SHALLOW - NCT Dream
Fanfiction[TAMAT] 💌 Kumpulan drabble/ficlet Dream dalam alur yang berbeda - Thursday, 210121 - Wednesday, 220615