Flickers

142 5 0
                                    

Renjun, OC
Fantasy
©fedmydream

°°°

Aku tahu ini bukanlah hal yang tabu; sensasi menggigit pada tengkuk dan getaran yang menyentuh ujung jari. Aku ingin berkata bahwa aku tidak merasakan apa pun, semuanya akan baik - baik saja, aku tidak akan menjadi saksi dalam hal yang buruk, bahkan jika itu berarti untuk diriku sendiri. Ini semua sangat rumit, tubuhku selalu berada di luar kendali tatkala radar - radar aneh berpedar di beberapa tempat. Lebih mengherankan karena tampaknya hanya diriku seorang yang menyadari bintik - bintik cahaya kemerahan yang menguar dari atas langit bagaikan salju.

“Kau bertingkah aneh lagi,” kemudian bahuku ditepuk. “Kau baik - baik saja?”

Pelakunya adalah Huang Renjun, pria berambut cokelat madu dengan lesung pipi tipis di salah satu pipinya. Dia merupakan sahabatku sejak bangku sekolah dasar, kami selalu bersama hingga tak sadar waktu menelan hubungan kami dengan cepat. Hatiku terlalu rapuh untuk bernolstagia, mengingat betapa banyak hal yang kami berdua lalui, bangku kuliah pun kini kami lakoni bersama. Benar - benar sahabat yang setia.

Aku tersenyum meski tahu berujung dampratan nantinya. “Aku baik - baik saja.”

“Ck, kau pikir aku baru mengenalmu kemarin, heh?” Apa kataku, Renjun dan segala dampratannya.

Untuk beberapa saat aku memilih mengabaikannya, terkadang, Renjun dalam mode khawatirnya membuat aku jengkel. Dia akan terus memaksaku perihal apa yang terjadi, bahkan jika aku harus menutup mulutnya dengan makan siang gratis, itu hanya akan berlangsung sampai sore hari. Renjun lantas menghubungiku saat malam hari, masih menanyakan hal yang sama.

Kemudian aku menyadari satu bintik cahaya hinggap di atas kepala Renjun. Tanpa sadar mataku memicing, memperhatikan bagaimana cahaya itu perlahan meredup sebelum akhirnya hilang tertiup angin.

Tiba - tiba saja Renjun mengusak rambutnya; sukses memecahkan konsentrasi.

“Apa? Apa ada sesuatu di rambutku?” Tanyanya masih terus mengusak.

Aku menggeleng. “Tidak, kau jelek.”

Gerakan tangannya spontan terhenti, wajah kesalnya sukses menimbulkan geli dalam perut. Tanpa suara, aku terkekeh lantas bangkit meninggalkannya.

“Yak, tunggu aku.”

Dia berhasil menyamai langkah meski badannya kecil dengan tinggi yang tidak melebihiku. Aku tidak menaruh fokus padanya, aku hanya ingin segera menjauh dari lokasi tadi mengingat reaksi tubuh yang berlebihan. Satu hal yang kupelajari adalah menjauh dari apa pun yang mengeluarkan radar - radah merah, setidaknya itu akan memberikan ketenangan alami. Aku pernah menenangkan diri menggunakan obat, tetapi berakhir gagal karena tertangkap basah orang tua. Huft, mengingatnya saja sudah memalukan sendiri.

“Apa kau lapar?” Renjun tiba - tiba angkat suara.

“Memangnya kelas hari ini sudah berakhir?” Anak itu mengangguk.

Baiklah, tidak ada pilihan lain. Aku pun mengangguk bersamaan dengan langkah kami yang otomatis mengarah pada kantin fakultas. Dialog ringan tercipta sebagai pemanis suasana, juga mengaburkan waktu akan lamanya perjalanan yang dilakoni. Beruntung, masih terdapat meja kosong mengingat sekarang telah memasuki jam makan siang.

“Mau aku ambilkan?” Renjun kembali bertanya.

“Kenapa kau memperlakukanku seperti itu, Huang? Aku bisa jalan sendiri.”

Renjun cemberut, “Tapi kau terlihat tidak baik - baik saja.”

Atas ucapan tersebut, tanganku otomatis menempel pada dahinya. “Halo? Tubuhmu tidak panas,” kemudian tanganku ditangkis, “Haish, aku hanya mencoba menjadi sahabat yang baik, kau tahu?”

Aku spontan terkekeh, tetapi berubah menjadi datar sepersekian detik setelahnya. “Haha, tidak.”

Renjun akhirnya menyerah dengan membiarkanku mengambil nampan kosong sebelum mengantre bersama anak-anak yang lain. Dengusanku spontan meluncur dalam diam kala tatapan pria tidak meninggalkanku barang sedetik. Renjun bahkan tidak ikut mengantre hanya untuk memastikan aku sampai di meja dengan selamat. Sialan. Pria itu bertingkah lagi, menjadi sangat protektif dan semakin menyebalkan ketika dalam sepuluh menit aku bahkan telah kembali di hadapannya.

“Sana ambil makan,” ketusku.

“Aku akan menunggumu menghabiskan makanan.”

Tanpa jeda, aku langsung menatapnya dengan tajam. “Renjun, hentikan.”

Tidak mengantisipasinya, Renjun tampak terkejut sebelum bibirnya tertekuk bersama helaan napas yang meluncur. “Aku hanya khawatir, oke?”

“Kau berlebihan.” Aku ingin melempar sendokku tepat pada wajahnya.

“Hey, aku serius.” Apa-apaan muka sok melas itu?

Kami berdua bersitatap dan aku mengetahui betul bahwa dua insan dengan watak keras kepala tidak akan berakhir dengan cepat. Mereka akan saling menghancurkan; kekacauan yang sebenarnya. Demikian aku mengumpulkan kesabaran sebelum akhirnya mengangguk lalu melempar banyak hal di depan wajahnya, membuat Renjun gelagapan karena kelemahannya di mata kuliah biologi.

“Kau pria pendek menyebalkan yang membuatku tidak berhenti berdoa pada Tuhan agar kau kekurangan gula sehingga otakmu harus menggunakan lemak yang bahkan kau tidak miliki dengan badan kecil seperti itu. Astaga, latihlah amigdalamu, mereka mungkin sebesar kacang almon tapi berguna untuk kepalamu.”

“Ami--apa?”

“Amigdala!”

°°°

#30DWC
#30DWCJilid31
#Day24

SHALLOW - NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang