Jeno
Thriller
©fedmydream°°°
Jeno tidak menemukan banyak hal yang menarik terkait rumah baru sang kakek. Ingatan pria itu akan taman bunga yang luas, aliran sungai yang jernih, dan hiruk pikuk keramaian hewan di malam hari telah lenyap, tergantikan oleh hunian apartemen mewah di tengah kota yang berada tidak jauh dari rumahnya. Ibu yang melatarbelakangi perpindahan tersebut, wanita itu berkata bahwa umur kakek telah menginjak kepala delapan dan akan sangat mengkhawatirkan untuk membiarkan dirinya sendirian tanpa pengawasan, terlebih sang istri sudah meninggalkannya sejak lama. Meski demikian, Jeno takjub akan kecepatan sang kakek dalam beradaptasi. Pria itu sangat pintar walau waktu terus memakannya dalam masa tua.
Suatu hari, sang ibu menyuruh Jeno untuk berkunjung sebab kakek merindukannya. Jeno tidak keberatan, toh, ia juga tidak memiliki jadwal bimbingan belajar. Jadi sepulang sekolah, anak itu pun pergi menelusuri jalan kota menggunakan bus. Selama perjalanan, tidak ada yang Jeno lakukan selain melihat keluar jendela ataupun mendengarkan musik.
Waktu pun berlalu dan kini Jeno tengah berada di dalam lift. Jari telah bergerak menekan tombol angka menuju lantai tujuh tempat hunian sang kakek berada. Di lantai empat, seorang pria seumurannya masuk menggunakan seragam yang sama. Keduanya berkontak mata atas similaritas pakaian sebelum membungkuk singkat satu sama lain. Dia tidak menekan deretan tombol di sisi Jeno, membuat sang empu berpikir bahwa ia menuju lantai yang sama.
Diam-diam mata Jeno memicing, memperhatikan pria itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia memiliki rambut hitam dengan warna slight cokelat di beberapa sisi, bahunya tidak begitu lebar, dan kedua tangannya menangkup dengan lembut di depan tubuh, terlihat mungil. Meski memakai seragam yang sama, Jeno menyadari bahwa celana pria itu sedikit berbeda dengan miliknya; warnanya jauh lebih pekat. Mungkin sang ibu terlalu sering mencuci celana Jeno. Dan begitu Jeno melihat sepatunya, ia spontan menahan napas saat menyadari bahwa sepatu tersebut adalah edisi terbatas dari brand yang disukainya. Ah, iri sekali.
Lempengan besi pun terbuka menampilkan lorong lantai tujuh yang tampak senggang. Mereka melangkah keluar bersamaan sebelum berpisah di antara dua lorong di ujung jalan. Jeno sempat menoleh ke belakang hanya untuk memandang sepatu pria itu kembali sebelum menekuk bibir dan melanjutkan langkah.
Sore itu, Jeno menghabiskan waktunya bersama sang kakek hingga ibunya datang menjemput; sukses menenggelamkan momen pria bersepatu di lift.
~*~*~
“Kakek ingin bertemu denganmu lagi.”
“Sungguh? Lusa lalu’kan sudah berkunjung.”
Sang ibu tampak menghela napas. “Jeno, mengertilah. Mungkin beliau merasa kesepian untuk berada di hunian sebesar itu tanpa nenek, sedang kau adalah cucu satu-satunya.”
Menahan semua perkataan di tenggorokan, Jeno akhirnya mengangguk demi menghapus raut sedih dalam wajah sang ibu. Tidak apa, pikirnya, lagi pula kakek tidak se-membosankan yang ia kira.
Hari itu, demikian Jeno kembali berdiri di depan pintu apartemen sang kakek. Tangan telah bergerak menekan bel, anak itu menunggu sekitar lima menit hanya untuk kekosongan tanpa respons berarti. Jeno kembali menekannya, kali ini sembari mencoba memutar knop pintu. Mengejutkan pria itu, apartemen sang kakek tidak terkunci.
“Kakek?”
Lampu hunian padam, kegelapan menyambut Jeno dengan telak. Tanpa babibu lagi, Jeno segera masuk untuk menghampiri saklar lampu yang telah ia hafal di luar kepala. Begitu cahaya menyebar, anak itu langsung membeku saat menemukan noda darah di lantai. Bak menyulut ketakutan Jeno, noda darah tersebut tidak berakhir di satu tempat, melainkan membuat jalur menuju dapur yang tidak tertangkap oleh matanya.
Dengan tangan bergetar, Jeno lantas menghubungi pihak apartemen melalui panggilan darurat. Mereka berkata akan segera menuju hunian terkait dengan memberi pesan pada Jeno untuk menunggu di luar ruangan agar membuat TKP tetap bersih. Namun pria itu tidak bisa melakukannya, tidak, ketika ia bahkan tidak tahu keadaan sang kakek sekarang.
Berbekal keberanian di ujung mata dan satu buah payung besar di tangan, Jeno lantas mengikuti bercak darah di lantai. Dalam sunyi, untuk mendengar suara langkahnya sendiri membuat Jeno merasa sesak atas rasa cemas, takut, dan bingung. Kedua lututnya telah lemas bagai jeli, tetapi Jeno hanya tinggal berbelok untuk mengikuti kekacauan lebih lanjut.
Saat itulah langkahnya terhenti kala Jeno mendapati sebuah sepatu di bawah pantry. Matanya melebar, jantungnya mencelus. Itu adalah sepatu edisi terbatas milik pria yang ia temui di lift kala itu, Jeno mengingatnya dengan jelas. Begitu ia meluaskan pandangan, tampak sesuatu tengah tergantung di langit-langit dapur. Tidak bergerak.
Jeno pun menjerit dengan keras.
~*~*~
“Korban adalah siswa SMA bernama Huang Renjun, berumur 16 tahun. Anak itu ditemukan tewas tergantung di hunian apartemen dengan luka sayatan menganga di dadanya. Pelakunya adalah Lee Hanwoo, berumur 82 tahun, seorang mantan militer. Pembunuhan ini dilatarbelakangi oleh pelaku yang menderita gangguan jiwa, mengira bahwa Renjun adalah cucunya dan membawa anak itu ke apartemennya. Renjun yang ketakutan mencoba melawan, tetapi justru berakhir ditikam hingga tewas oleh Hanwoo.”
~*~*~
Jeno seharusnya menyadari kejanggalan tersebut, kakeknya bahkan bisa hidup dengan baik tanpa nenek selama sepuluh tahun terakhir. Mengapa ibu membawa beliau ke kota? Karena umurnya sudah tua? Jeno bahkan bersumpah bahwa kakeknya adalah orang yang cerdas, mandiri, dan cekatan.
Tidak ada tujuan lain selain kakek dibawa untuk proses pengobatan. Namun, ibu membiarkan dirinya bersama pria tua itu tanpa pengawasan.
Jeno mengumpat, ibunya pasti sudah gila.
°°°
#30DWC
#30DWCJilid31
#Day25

KAMU SEDANG MEMBACA
SHALLOW - NCT Dream
Fanfic[TAMAT] 💌 Kumpulan drabble/ficlet Dream dalam alur yang berbeda - Thursday, 210121 - Wednesday, 220615