Karma

219 12 1
                                    

Haechan, Jisung, Renjun
Horror
©fedmydream

°°°


Renjun nyaris membanting batang pel ke lantai jika saja tidak mengingat Jisung berada di dekatnya tengah terkantuk - kantuk. Adiknya itu tiba - tiba ingin pulang bersama dan memutuskan untuk menunggunya. Renjun jelas menyayangkan hal tersebut, pasalnya ia menjabat sebagai panitia divisi perlengkapan yang tidak bisa lolos setelah acara selesai. Ini saatnya untuk bekerja kembali setelah seharian penuh bermalas - malasan ria selain menata panggung untuk acara class meeting. Kini setelah menyimpan meja - meja tersebut kembali ke kelas, para temannya pun pamit sedang Renjun menyempatkan diri untuk membersihkan kekacauan tapak sepatu sampai Haechan datang dan mengejutkannya; kembali pada insiden nyaris membanting batang pel.

“Yak, Jisung! Kalau ngantuk, ya, pulanglah,” sungut Haechan tanpa angin-badai-hujan.

Jisung yang sedang di ambang - ambang seketika tersentak sadar disusul batang pel yang melayang mengenai kepala Haechan. Renjun sontak memberikan sang teman wajah galak karena telah menganggu adiknya.

“Apa?” Haechan balas menatapnya sama galak.

Sepertinya kini Renjun mengerti mengapa Haechan sering kali ditegur oleh guru--cerita dari Minhyung, teman sekelas Haechan.

“Hyung, belum selesai, ya?” tanya Jisung sembari meregangkan badan.

Renjun yang baru akan menumpahkan kuah pedas dari mulutnya lantas menatap Jisung dan menggeleng kecil. Mendorong Haechan dari hadapannya, Renjun pun melanjutkan kegiatan bersih - bersihnya yang tertunda. Ia tidak ingin mengurusi Haechan untuk saat ini, langit sudah mulai gelap dan mereka harus segera pulang. Tangan Renjun lantas bekerja lebih keras.

Haechan mendengus kecil lalu menghampiri Jisung yang termangu dengan dagu bertumpu pada gulungan kusut sweternya selagi Renjun membersihkan area belakang, tampak memunggungi mereka.

“Bagaimana rasanya punya kakak jelmaan monster kayak Renjun?” Haechan bertanya jahil.

“Lee Haechan, aku akan melempar--”

“Hyuuung, aku ingin cepat pulang,” sergah Jisung begitu Renjun nyaris masuk ke dalam jebakan Haechan.

Teman kakaknya tersebut tampak tertawa dengan puas, Jisung meliriknya tanpa minat sebelum tanpa sadar merotasikan kedua bola matanya. Haechan memang terkenal dengan kejahilannya, Jisung sudah mengetahuinya sejak lama, terlebih sebagai adik dari seorang Renjun yang notabene menyambat predikat teman Haechan sejak bangku sekolah dasar.

Jisung sendiri tidak pernah mengambilnya secara serius, Renjun saja yang memang memiliki sumbu pendek. Terkadang ia tidak mengerti bagaimana hubungan keduanya dapat bertahan selama bertahun - tahun, padahal isinya seperti pertengkaran rumah tangga.

“Mau dengar cerita, gak?”

Selain jahil, Haechan juga memiliki senjata untuk menarik atensi seseorang. Dia mengenal targetnya dengan baik, demikian Jisung yang telah menemaninya bersama Renjun dalam menempuh dinamik persahabatan. Adik temannya tersebut memang memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap cerita, kecuali untuk satu cerita.

“Cerita apa, hyung?”

Renjun yang mendapati perasaan tidak enak tiba - tiba berbalik dan menemukan keduanya tengah sibuk membicarakan sesuatu. Ia tidak bisa mendengarnya, tidak juga tertarik karena harus segera menyelesaikan dua baris lagi.

“Pokoknya seru,” Haechan mendekatkan diri dan berbisik dengan bumbu antusiasme.

Jisung sontak mengangguk lalu segera bertumpu lengan untuk mendengarkannya lebih lanjut.

“Jadi, dulu di kelas ini ada murid yang bunuh diri. Dia belajar terlalu keras karena tuntutan orang tuanya sampai depresi dan memilih untuk menggantung kepalanya--”

Itu keterlaluan. Haechan mengetahui bahwa Jisung tidak menyukai cerita seram dan dia melakukannya dengan sengaja. Spontan, Jisung pun mencengkeram lengan Haechan dengan mata melebar ketakutan, “Berhenti, hyung.”

Namun Haechan tidak mengindahkannya, justru menatap Jisung dengan sorot kengerian dalam matanya; mendalami peran pada cerita yang tengah ia suguhkan. “Dia sangat kesakitan hingga tidak bisa berteriak untuk meminta tolong. Dia menyesal untuk tewas dengan cara mengerikan. Maka dari itu, arwahnya suka bergentayangan untuk menghantui para siswa yang belum pulang sekolah.”

Tiba - tiba saja lampu di ruangan padam bersamaan dengan teriakan Jisung yang membelah udara. Semua orang membeku di tempat disusul pekikkan panik milik Renjun dan batang pelnya yang terbentur meja. Haechan lantas menenangkan Jisung yang tidak berhenti berteriak, mencengkeram kedua lengan kurus yang terus memberontak guna menahannya diam.

“Apa yang kau lakukan pada Jisung, Haechan!?”

“Aku--”

“Haechan hyung bercerita seram dan aku melihat seseorang berdiri berada di belakangnya!”

Renjun segera meraih anak itu dan memberikannya pelukan guna menenangkannya. Langit sungguhan telah menggelap dan padamnya lampu kelas membuat ketiganya berada dalam pencahayaan semu berbekal ventilasi udara dan jendela ruangan. Renjun bisa rasakan bahu sang adik bergetar dengan kuat, ia lantas berpikir keras untuk bisa memukul Haechan yang bahkan tidak melakukan apa pun.

“Apa yang kau lakukan, bodoh? Segera nyalakan lampunya!”

“Iya, iya,” terdengar suara derit kayu dan langkah yang menjauh. Haechan berjalan menuju saklar lampu, jari menekan dan--tetap gelap. Dahinya berkerut, “Lampunya tidak bisa berfungsi.”

Jisung tersentak dalam dekapannya, “Hyung, pulang, ayo, pulang, pulang,” Renjun meringis saat jari sang adik mencengkeram kulitnya dengan kuat. “Aw! Iya, ayo, kita pulang.”

Haechan kemudian membuka pintu, menambah intensitas cahaya yang masuk. Akan tetapi, berada pada waktu kala cahaya di ujung langit, tidak membantu banyak. Kegelapan yang berlangsung lebih lama di antara mereka membuat suasana perlahan mencekam. Haechan tanpa sadar menengguk liurnya dengan susah payah saat melihat bayangan bergerak dengan cepat dari sudut ruangan saat Renjun tengah membantu Jisung bersiap - siap.

“Cepatlah,” nyali si pria jahil menciut tiba - tiba.

Seraya merangkul sang adik, Renjun melangkah keluar dan menubruk bahu Haechan dengan keras. Tatapan tajam yang diberikan tak lolos dari wajah sang teman. “Lihat apa yang akan kulakukan padamu besok.” Satu tubrukan lagi, dan keduanya berlalu meninggalkan Haechan yang masih membeku di tempat.

Menyisakan pria itu yang dikungkung oleh ketakutannya sendiri kala melihat figur besar hitam tengah berdiam diri di meja depan tempatnya duduk bersama Jisung tadi.

“RENJUN, TUNGGU AKU!”

Haechan pun segera berlari terbirit - birit, menyesali perbuatan yang telah ia lakukan.

°°°

#30DWC
#30DWCJilid31
#Day5

SHALLOW - NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang