Agustus

160 5 0
                                    

Mark, OC
Angst
©fedmydream

⚠️Mengandung adegan sensitif⚠️

°°°

Agustus, 2020

Di balik ruang berdebu itu, tampak seorang gadis termenung menatap ventilasi di bawah dinding, sang penyalur cahaya untuk warna hitam di langit-langit. Tidak ada yang berkunjung ke gudang sekolah setelah bel pulang tiba, kecuali hantu, atau penjaga sekolah. Akan tetapi, tidak ada hal yang berhasil menggerakkan dua tungkai bersila yang dibalut celana olahraga itu. Matahari semakin berotasi, ia bisa melihatnya dari keredupan cahaya pada lantai gudang yang kusam, menyibak eksistensi barisan debu dalam tarian udara.

Surai pekat hitam kehijauan itu berayun; sang empu yang mengambil sesuatu dari kantong. Hazel matanya menjelajahi benda di tangan, menelusuri keluguan warna biru langit di wadahnya yang mungil. Namun begitu jarinya bergerak dalam satu dorongan pasti, mencuat sisi kesungguhan si petarung kecil. Sayang sekali keremangan ruang tidak mampu menunjukkan kilat cantiknya; terdakwa jerit hati sang gadis.

Tidak ada waktu tersisa, ia pun tidak ingin berlama-lama hanya untuk tenggelam lebih dalam pada kekosongan. Gerbang sekolah akan segera ditutup, sudah cukup banyak masalah, kedua manik cokelat itu enggan berterus terang menjadi yang terburuk. Maka dalam satu genggaman pasti, benda di tangan menari-nari di lengan lainnya yang terbuka, mengundang benang-benang merah bersama pasukan leukosit.

Tolol, batinnya meraung.

“Raya!”

Seperti sebuah kejutan, pintu gudang terbuka dengan satu gebrakan, sukses menyibak si gadis yang duduk bersila dengan adegan melukai dirinya sendiri. Tidak ada respons berarti, sosok bernama Raya itu hanya menatap kedatangan sang tamu dengan sorot kosong. Bahkan kala sebuah punggung bergabung bersama kegelapan hanya untuk bersimpuh di hadapannya, Raya tetap bungkam.

Sekonyong-konyong sebuah lengan meraih pundak gadis itu dan menariknya pada dekap hangat dada seorang lelaki. Lukisan abstrak berwarna merah di lantai sukses menjadi saksi bisu keduanya.

“Kenapa kau belum pulang, Mark?”

Raya tampak kebingungan setelah melepaskan diri lalu menatap pria di hadapannya. Mendengar hal tersebut, Mark tidak bisa menahan diri untuk menaikkan intonasi suaranya.

“Setelah apa yang kau lakukan,” pria itu merebut pisau kecil dari tangan Raya sebelum melemparnya ke sudut gudang, “Kau masih bisa bertanya soal diriku, huh?”

Sarat akan panik, Mark melanjutkan, “Aku mencarimu, Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres karena kau begitu pasif hari ini, aku juga tahu kau akan melakukannya, dan aku harus menghentikanmu, aku harus menolongmu, aku--”

“Berisik,” tukas Raya tanpa jeda.

Mata Mark melebar, tidak mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Itu melukainya, Raya seperti tidak menyadari hal tersebut. Gadis itu tidak mengerti apa yang dirasakan oleh Mark, ketakutan bak merambat ke seluruh saraf tubuhnya hanya untuk menemukan sang sahabat dalam keadaan berdarah-darah setelah apa yang ia lakukan; berlarian seperti orang gila mencari sosoknya di setiap deretan ruang kelas.

“Raya Soladova!”

“Aku lelah, Mark!”

Badai pada semesta Raya mutlak menutup antrean kata di tenggorokan Mark.

“Aku… aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku seperti berada di ambang kematian, tidak dapat melakukan apa pun selain mengutuk diriku sendiri. Kau tidak akan mengerti rasanya, katakan padaku bagaimana rasanya bernapas di dalam air, apa kau bisa menjabarkannya, Mark? Kematian di ujung tanganmu?”

Langit telah sepenuhnya gelap, sang penyalur kecil kini tidak perlu kesusahan untuk memompa cahaya sedang badan pintu tengah terbuka lebar untuk memberikan warna pada kedua insan yang bersedih. Gerbang sudah pasti ditutup, Mark dan Raya sukses terjebak, hanya perlu menunggu waktu sampai penjaga sekolah datang menemukan mereka.

Maka Mark tidak akan menyia-nyiakannya.

“Maaf karena aku tidak bisa menjabarkannya,” kembali, Mark merengkuh Raya dalam dekapannya, “Maaf karena hanya kau yang bisa menjabarkannya, Ra.”

Demikian merah mengalir sebagai jawaban.

~*~*~

Agustus, 2021

Semburat hijau yang tidak pernah pudar dari ujung rambut Raya kini datang menyambut ruang gudang sekolah. Di antara tumpukan kardus yang penuh hunian laba-laba, kumpulan papan meja yang tidak terpakai berselimut kain debu, juga hawa dingin yang menyayat kulit, hazel sang empu bertemu sosok Mark di tengah ruangan bersama balutan seragam tanpa rompi. Alih-alih tersampir di bahu sang pemilik, benda tersebut justru terlentang lugu di hadapan pria itu.

“Duduk.”

Raya baru akan duduk sampai Mark meraih tangan gadis itu untuk mengikutinya, menuntun tepat tubuh Raya untuk duduk di atas rompi--Oh, Raya mengerti sekarang. Tanpa kata, gadis itu lantas memenuhi fungsi rompi milik Mark yang kini beralih menjadi alas di lantai. Tepat setelah ia duduk, tidak ada yang Raya temukan selain senyum di wajah sang sahabat.

“Tidak usah tersenyum, kau menggelikan.”

“Aku hanya merasa senang,” kata Mark dengan sorot sendu dalam semestanya.

Raya kemudian mengangguk sebelum memicingkan mata untuk menelusuk kebenaran. Usahanya tidak bertahan lama karena getaran pada kedua tangannya tidak berhenti, Raya lantas mengumpat dalam diam, sedang Mark tetap tidak berkutik meski fakta telah tertoreh di depan mata. Bak sama-sama menelan pil pahit, tidak ada lidah yang bergerak, keduanya bisu menyelami sensasi menggigit pada tenggorokan masing-masing.

“J-Jadi,” Bahu Mark tersentak saat mendengar intonasi milik Raya yang pecah, “Sejak kapan kata senang menjadi satu makna dengan kata s-sedih?”

Si pria mengulum senyum tak bernyawa, “Sejak tadi.”

Eksistensi kebenaran emosi akhirnya tersibak; bulir-bulir air mata yang mengalir melewati pipi Raya. Sore itu seharusnya menjadi hari yang berharga baginya, dekapan Mark tidak lolos dengan mudah dalam raga sejak hari di mana darah menjadi saksi, demikian gadis itu menemukan candu untuk berbagi rasa bersama sang sahabat hanya untuk bernapas di dalam air. Tatapan Raya lantas jatuh pada bekas luka di lengannya yang terbuka, menemukan sentuhan semu dari jari-jari Mark yang melingkupinya.

Raya tidak ingin tenggelam lagi.

“Aku tidak akan melupakanmu, jika itu yang kaukhawatirkan.” Suara Mark dengan lembut melewati telinga gadis itu. Raya hanya terkekeh kecil seraya menghapus air matanya, “Aku juga tidak akan melupakanmu, Mark.”

Ketenangan yang kini hadir dalam intonasi sang sahabat sukses menyulut keberanian Mark untuk berterus terang atas jendela hati.

“Aku bersumpah tidak akan melupakanmu, Ra. Jika aku memiliki kuasa untuk memberontak, maka kini kau tidak akan menangis melainkan berada di dekapanku dengan tenang. Tapi aku tidak bisa melakukan apa pun, orang tuaku ingin aku ikut pergi bersama mereka ke Kanada pekan depan, dan besok aku sudah berhenti pergi ke sekolah. Ayah sudah mengurus semua surat kepindahanku, …”

Nyatanya, tidak ada sosok Mark di hadapan Raya sekarang. Semua itu hanya bayangan yang berputar dalam kepalanya, terealisasi pada rasa di dunia nyata tanpa seorang pun merasakannya melainkan sosok Raya sendiri.

Itu mengejutkannya bahwa ia masih mengingat dengan jelas setiap potret wajah Mark bersama tutur kata yang meluncur dari mulut pria itu, terikat kuat dengan amigdala yang mempengaruhi emosinya saat kembali berdiam diri di gudang sekolah.

Raya tidak akan pernah melupakan Mark, karena ia percaya bahwa Mark percaya padanya.

“… tapi kau tidak perlu khawatir. Bahkan untuk sepuluh tahun yang akan datang, aku tidak akan menyerah. Aku akan mencarimu, Raya, di mana pun kau berada.”

Sebuah lengan kembali merengkuh tubuh Raya dengan sengat hangat yang familiar.

“Jadi, tunggu aku, oke?”

°°°

Inspired by two songs.

SHALLOW - NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang