Squeak

166 16 4
                                    

Jisung, Haechan
Horror
©fedmydream

°°°

“Psst, Jisung.”

Terdengar rapuh dan kosong, Jisung spontan terjaga saat kusen tua jendela kamarnya berdecit di tengah siang bolong. Terdapat jari-jari yang berusaha membukanya bersama wajah panik di balik kaca yang kusam. Jisung segera turun dari ranjang dan bergegas menggeser kunci sehingga pria itu dapat masuk. Sweter merahnya tampak kotor penuh dengan daun - daun kering, juga sobek di beberapa sisi. Jisung lantas membantunya bangkit dan menuntunnya duduk di kursi belajar.

“Kak Haechan baik - baik saja?”

Yang dipanggil Haechan itu menggeleng, kala Jisung menatapnya lebih lekat, terdapat luka lecet di sekitar matanya. Jisung baru akan mengambil kotak obat di bawah ranjang jika saja pria itu tidak menahan lengannya.

“Jangan tinggalkan aku,” kata Haechan ketakutan.

Jisung spontan bersimpuh sembari menggenggam kedua tangan Haechan yang rupanya sama kotor penuh dengan sisa daun kering. Melihatnya, tanpa sadar mata Jisung menyorot sendu bersama usaha untuk membersihkan kulit tersebut dengan jari-jarinya; sentuhan-sentuhan kecil. Dalam diam, Haechan memperhatikan pucuk kepala Jisung seraya tersenyum.

“Apa ini ulah ibumu lagi, Kak?” Jisung mendongak, menyiratkan desak melalui semestanya.

Senyum di wajah Haechan seketika pudar. Garis tipis yang ditunjukkan telah menjadi jawaban bagi keduanya.

Jisung kemudian bangkit lalu berujar lembut, “Aku tidak akan meninggalkan Kakak, aku hanya akan mengambil kotak obat di bawah ranjang.”

Haechan terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk dan melepaskan Jisung. Jisung lalu mengambil kotak obat dan kembali seraya menyeret kursi lain di ujung ruangan. Mereka kini duduk berhadapan, diam-diam Haechan menyorot upaya Jisung mengobatinya. Tidak ada dialog yang melingkupi keduanya, jari Jisung menjadi satu-satunya yang bekerja keras di antara deretan luka.

“Kau tahu ini adalah usaha yang sia-sia, bukan?”

Menjadi kalimat yang menghentikan Jisung.

Netranya lantas menangkap semesta milik Haechan, tertegun untuk beberapa saat kala tidak ada yang ia temukan selain ruang hitam putih; mengingatkannya akan sesuatu. Sepersekian detik, bahunya tersentak kala tangan Haechan menangkap jarinya dan membawa kehangatan itu pada dadanya, pada jantungnya.

“Kau melupakan sesuatu, Jisung.”

Hanya ada satu ritme di ruangan itu.

Kemudian seseorang membuka pintu ruangan. Ayah Jisung muncul seraya mengedarkan pandangan, mata spontan memicing saat menemukan putranya tengah terduduk dengan kotak obat di pangkuannya. Di hadapan anak itu, terdapat satu kursi kosong yang penuh dengan daun-daun kering. Tidak berhenti di sana, masih banyak daun yang tersisa dan membentuk jalur menuju jendela kamar. Jisung kemudian bangkit dan menatapnya.

“Ayah, aku bisa--”

“Lee Haechan. Seorang anak laki-laki berumur 16 tahun, tinggal di samping rumah kita. Karena sering dipukuli oleh ibunya, anak itu selalu kabur dan memanjat dinding samping rumah untuk bersembunyi di kamarmu,” Ayah melanjutkannya, kali lebih tajam. “Tapi dinding rumah kita rata dan tidak ada celah apa pun untuk bisa naik ke lantai dua selain menggunakan tangga, dan kita tidak memiliki tangga. Kemudian, Jisung, bahkan kita tidak memiliki tetangga di sini. Jadi, berhenti membicarakan teman imajinasimu itu!”

“Haechan bukanlah imajinasiku melainkan arwah yang kesepian, ayah.”

Tepat setelah Jisung mengatakannya, sang ayah langsung keluar ruangan seraya membanting pintu kamarnya dengan keras. Tidak ada yang beliau tinggalkan selain kebekuan dalam hati Jisung bersama duri luka, anak itu mungkin akan retak dalam beberapa waktu, tetapi Jisung belajar untuk bertahan atas keistimewaannya. Lagi pula, siapa yang ingin berkomunikasi dengan makhluk halus? Ia pun tidak menginginkannya.

“Psst, Jisung.”

Jendela kamarnya kembali berdecit. Jisung berbalik, menemukan jari-jari milik Haechan kesulitan untuk membukanya. Wajah pria itu terpampang jelas dari balik kaca; ketakutan. Suaranya menggema, membangun kesadaran Jisung untuk segera membuka jendelanya. Bukan untuk membiarkan Haechan masuk, melainkan mendorong pria itu hingga genggamannya pada kusen kayu terlepas.

“Tinggalkan aku sendiri!” Teriak Jisung pada tubuh Haechan yang terlentang kaku di bawah tanah. Merah darah menyatu bersama warna sweter yang dikenakannya. Namun, Jisung tidak melakukan apa pun selain menutup jendelanya kembali.

Anak itu berpikir bahwa semuanya telah berakhir. Akan tetapi, decit yang sama kembali datang di kemudian hari, tanpa henti.

“Psst, Jisung.”

°°°

#30DWC
#30DWCJilid31
#Day17

SHALLOW - NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang