Dejavu

9.1K 1.2K 14
                                    

"Nona harus makan bubur supaya tubuh anda kembali sehat." Ariana menatap bubur itu dengan malas. Saat pertama kali ia bangun dipagi hari, dia di sambut dengan keberadaan ketiga iblis pencabut nyawanya. Ini sudah hari kedua sejak ia siuman.

Ariana terkejut saat Mola mengatakan bahwa ia pingsan selama lima hari sejak dari ruang makan. Tubuhnya sangat dingin seperti mayat. Duke dan kedua putranya kelabakan menjaga dirinya bahkan sampai berani membunuh lima orang dari asosiasi penyihir karena tidak bisa menyembuhkannya. Bukankah orang-orang di asosiasi penyihir sangat kuat dan arogan?

Ariana mengangguk saat mendengar ceritanya, mereka benar-benar iblis kejam. Itu berita yang cukup mengejutkan bagi Ariana, peduli apa mereka tentang kesehatannya. Mereka sendiri yang membuat Ariana menjadi seperti ini.

Akal sehatnya mulai berpikir, apa benar hanya karena tekanan sihir luar biasa dari ketiga orang itu akan membuat hidupnya dalam keadaan kritis? Itu bukan masalahnya...

"...na! Nona? Anda melamun lagi? Apa yang anda pikirkan." Mola bertanya sambil mengaduk bubur di tangannya. Mengambil satu sendok hendak menyuapi nonanya.

Ariana menolak. Sambil menjawab, "Cara untuk bertahan hidup." katanya pelan.

"Ya?"

Ariana menggeleng.

"Ayo sekarang anda harus makan sebelum minum obat." Lagi-lagi Ariana menggeleng dengan tatapan kosong. Kepala kecilnya mulai dipenuhi dengan banyak pertanyaan.

"Nona..."

"Ariana--" Gyren masuk tanpa mengetuk pintu. Terakhir kali kedua orang itu bertemu saat Ariana sudah siuman, sehari setelahnya dia tidak bertemu lagi dengan mereka bertiga.

Mola membungkuk hormat sambil menyapa. Gyren mengambil alih semangkuk bubur di tangan pelayan Mola membuatnya terkejut. Sekali lagi, Mola membungkuk setelah diisyaratkan untuk pergi.

"Ah--- tuan muda... maaf saya tidak bisa menyapa anda dengan benar."

Pandangan Gyren menggelap, dalam keadaan tidak sadar, dia memanggil dirinya dengan 'kakak' tapi sekarang dia memanggilnya dengan 'tuan muda'.

Gyren menghela napas.

Ia menatap prihatin gadis kecil di depannya, Sejujurnya ada banyak hal yang ingin Gyren tanyakan kepada gadis ini. Tapi tidak mungkin untuk sekarang karena kondisi Ariana yang tidak memungkinkan.

"Apa yang kamu pikirkan?" Gyren duduk disamping ranjang. Menduduki kursi yang telah diduduki oleh Mola beberapa saat lalu. Ariana menggeleng, pandangannya lurus kedepan.

"Panggil aku, kakak! Ayo." Ariana menggeleng. Tidak ada emosi di wajahnya walaupun sempat terkejut dengan permintaan pria itu.

"Padahal saat itu, kamu memanggilku kakak lho~"

Ariana mulai tertarik. Kapan ia menggunakan sebutan seperti itu. Matanya menatap Gyren dengan penasaran, "Benarkah?"

"Ya. Saat pingsan kemarin." Oh mungkin dirinya tidak sadar dan itu diluar pikirannya.

"Kalau begitu, maafkan saya tuan--"

"Tidak! Bukan tuan muda tapi, kakak. K-a-k-a-k." Gyren mempertegas.

Alis Ariana mencuat. "K-kakak!" Ia menurut saja daripada menjadi panjang. Mungkin Gyren salah minum obat. Padahal, dulu dia tidak suka dipanggil kakak, lalu kenapa sekarang...

Tak!

"Apa yang kamu pikirkan dengan otak kecilmu itu?" Gyren memukul pelan dahi Ariana dengan telunjuk. "Tidak usah terlalu banyak berpikir hal tidak penting. Jika ada yang kamu inginkan maka katakan saja padaku. Sekarang buka mulutmu." Ariana menggeleng.

"Kenapa? Kau lihat ini masih hangat dan tidak panas. Akan tidak enak jika dimakan saat dingin." katanya mencoba membujuk. Ariana masih menggeleng. Terlalu malas untuk makan, lagipula perutnya tidak lapar. Kenapa mereka selalu bersikeras?

"Ariana, dengar aku." Gadis kecil itu menengok . "Kamu tahu? Saat aku masih kecil Ibu pengasuh mengenakan pakaian berwarna pink untukku, dan berkata.. 'Ya tuhan... sungguh malaikat kecil kami benar-benar imut' setelah itu aku mengamuk dan membalikkan meja makan dengan kasar." Gyren mengerucutkan bibirnya saat meniru suara ibu pengasuh. Ariana membayangkan bagaimana rupa kakaknya saat masih kecil dan mengenakan baju berwarna pink, pipi gembul penuh lemak bayi. Wajah dan tampang Geryn tidak cocok untuk tersenyum, dan sangat mendukung dalam bertampang kejam. Pasti sangat tidak cocok dengan wajah bayiable-nya. Dan setelah dia membalikkan meja, ibu pengasuh pasti bersujud minta ampunan kepada malaikat kecilnya.

Ariana terkikik, lalu tertawa.

Gyren menyendokkan sesendok penuh bubur dan menyuapkan ke mulut gadis kecil itu. "Kwamu sywurwang!" (Kamu curang!) katanya dengan mengunyah paksa. Gyren tertawa melihat pipi Ariana yang naik turun.

"Uhuk... uhuk.." Ia menelan bulat-bulat bubur membuatnya tersedak. Pria itu dengan panik mengambil air dan meminumkannya.

"Pelan-pelan saja, adikku." Geryn menepuk punggung kecil gadis itu. Batuk Ariana menjadi-jadi karena terkejut. Apakah telinganya salah kali ini? Dia bilang 'adikku'?

"Ohok...." tenggorokannya perih. Perutnya terasa diaduk. Akhirnya dia memuntahkan isi perutnya. Dengan refleks, Geryn meletakkan mangkuk dan membuka tangannya, menadahi cairan bening itu.

"Uh.. uhuk." Ariana masih terbatuk-batuk. Matanya membelalak sempurna, dia baru saja muntah di tangan seorang tiran? Seorang iblis pencabut nyawanya? Betapa beraninya dia. Ariana menunduk, tidak berani menatap Gyren. Wajahnya tertutup oleh rambut gelombang berwarna merah muda.

"Ma-maaf." Ia takut bahwa, Gyren akan menghukumnya dengan kondisi Ariana yang tidak sehat seperti sekarang.

"Lihat! Kamu bahkan tidak mengisi apapun di perutmu." Pria itu berucap sambil menggosok tangannya dengan sapu tangan.

Ariana terisak, ia merasa jika dirinya benar-benar menjadi anak yang cengeng. Padahal usia mentalnya sudah lebih dari dua puluh tahun. Juga pria disampingnya tidak suka dengan gadis lemah sepertinya. Sudah dipastikan, Geryn akan mengutuk dan mencemooh dirinya. Telinga Ariana sudah siap mendengar segala perkataan kotor dari mulut kakaknya. Setidaknya dia tidak akan dipukul.

"Ariana? Kamu menangis. Aku minta maaf, oke? Tolong jangan menangis." Apa yang didalam pikiran gadis itu tidak terjadi, Gyren meminta maaf dengan tulus. Dia menatap pria itu dengan lintasan air mata yang masih turun.

"Anda tidak akan memukulku, 'kan?" katanya sambil menyeka air mata.

"Tidak akan! Sekarang ayo makan." Sekarang Ariana menurut dan memakan bubur itu dengan pelan setelahnya dia meminum obat. Ariana mulai berbaring, tubuhnya masih lemas dan sakit.

"Ariana, sekarang panggil aku kakak!"

"Kakak." katanya dengan berbisik.

Gyren mengernyit, "Katakan lagi."

"Kakak!" Sekarang suaranya normal walau sedikit serak.

"Lagi!"

Apa ini? Ia merasakan dejavu. Bukankah ini sudah pernah terjadi sebelumnya.

"Kakak. Kak Gyren!" katanya dengan lantang.

"Ya, adikku?" Gyren menatap Ariana dengan pandangan puas. Gadis itu menggeleng sebelum memejamkan mata. Ia merasa mengantuk sekarang. Samar-samar dia mendengar suara kakaknya, "Terima kasih!"

worthless daughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang