Bibi?

3.6K 645 11
                                    

Rasa puas terlintas di wajah duke. Setelah apa yang terjadi hari ini, marquis Poines pasti akan bersembunyi di rumahnya dengan wajah pucat.

"Hey kau, apakah nona Ariana ada di kamarnya?" Rafier bertanya saat melihat pelayan putri atasannya berjalan mondar-mandir seperti mencari sesuatu.

"S-salam Yang mulia, tuan Rafier."

"Sedang apa kau disini?" Mata emas milik duke menatap tajam membuat pelayan itu merinding. Lorong ini memang jarang dilewati oleh pelayan yang tidak berkepentingan membuat kedua pria itu memicing curiga.

Beberapa jam lalu, Lina akan menyimpan benda yang disiapkan untuk hadiah nona kecilnya sebelum kepala pelayan memanggil untuk meminta bantuannya. Kemudian itu hilang dan tidak ada dimanapun menyebabkan Lina harus mencari-cari disekitar. Tanpa sadar kakinya terus berjalan dan menuju ke ruang rapat duke dan bertemu mereka berdua.

"A...anu, s-saya sedang mencari..." Jeda lama setelah itu, sebelum Lina melanjutkan dengan nada gemetar. "...Gelang kecil untuk hadiah nona Ariana."

"Apa dia melakukan sesuatu yang baik?"

"Uh? Ya tentu saja. Nona Ariana adalah yang terpintar." Sejenak dia melupakan rasa takutnya dan berkata dengan nada pongah, "Tapi benda itu akan saya hadiahkan untuk nona. Karena dia berulang tahun."

"Apa kau bilang? Ariana ulang tahun sekarang?" Duke maju satu langkah, pria itu tidak kalem seperti biasanya membuat lintasan heran mulai terlihat di wajah pelayan Lina.

"T-tidak. Maksud saya bukan hari ini... enam hari yang akan datang adalah hari ulang tahunnya."

"Bagaimana kau tau?"

"Nona sendiri yang berkata kepada saya, sungguh!"

Setelah itu, Blair menarik lengan Rafier dengan cepat. Mereka bertiga berjalan berlawanan arah. Bersamaan dengan itu, Lina mengelus dada dan mulai melanjutkan kegiatannya.

"Anda benar-benar ayah yang buruk. Bagaimana anda bisa tidak tahu hari ulang tahun putrinya sendiri?" Rafier melirik malas sebelum berdecak.

"Berhenti mengolokku. Aku serahkan semuanya padamu sekarang. Sebelum jam makan malam aku akan datang kembali untuk mengurus sisanya."

"Ya ampun tuan duke yang terhormat. Lalu bagaimana denganku? Kau benar-benar akan meninggalkan sahabatmu sendiri di tumpukan kertas setinggi beberapa meter ini?"

Tanpa mendengarkan, pria itu mengambil jas di atas kursi dan pergi dari ruang kerjanya. Blair berjalan dengan tergesa-gesa setelah keluar dari sana.

>>>>

Seorang gadis kecil tengah duduk di salah satu kursi putih. Taman itu penuh dengan kupu-kupu berwarna-warni. Ariana membawa potongan kain berwarna hitam ditangannya. Sesekali matanya menatap buku-buku yang tertumpuk di meja dan meminum coklat hangat di sana. Semua pelayan meninggalkan gadis itu sendirian karena permintaannya. Ia sedang mencari makna logo di kain hitam milik penyusup yang datang tempo lalu.

"Cih,"

Kepalanya menengok saat mendengar suara asing seseorang. Matanya terbuka lebar, membulat sempurna. Ia berdiri dengan mendorong kursi. Ariana terkejut, sampai-sampai kursi yang didudukinya terjatuh.

Mata tajam berwarna emas, dan surai merah.

Mirip duke, tapi tidak sepenuhnya mirip. Surai merahnya panjang dengan ikat kuda berbentuk lurus. Mata setajam elang dengan paduan alis tebal melintang, bibirnya terkatup rapat tapi tatapan meremehkan terpatri jelas di sana. Gadis itu tahu seseorang di depannya.

Ariana tertegun.

"Salam, Countes Blion."

Adik Blair. Dia tidak memiliki sihir iblis seperti kakaknya, tapi kekuatan yang dia miliki juga cukup mengesankan. Selama kehidupannya, Ariana selalu tinggal di bangunan timur. Baru ketika tujuh belas tahun, dirinya dipindahkan di bangunan utama, mansion milik duke. Karena itu, setiap kali jika adiknya datang, duke selalu mengurung Ariana di kamar.

Gadis itu tidak tahu bagaimana kepribadian countes Blion, tapi dilihat dari tatapan matanya, wanita ini jelas tidak menyukai Ariana.

"Hmph, sedang apa kau di sini?"

Ariana menormalkan ekspresinya. Walaupun gadis ini sedikit takut, ia menyeringai lebar. "Ariana sedang membaca buku."

Countes Blion melirik meja penuh buku dan camilan manis, dia sangat tidak menyukai anak kecil ini. Gadis gelandangan yang dibawa oleh kakaknya adalah musuhnya. Gadis tidak berpendidikan biasanya sangat tidak sopan. Countes mendecih sebelum melanjutkan kata-katanya, "Apa kau mengerti gelandangan kotor?" Dia menunjuk tumpukkan buku itu.

Sedikit, Ariana sedikit tersulut emosinya. Ia kembali mengulum senyum, "Ya, karena ayah mengajariku." Gadis itu memekik girang walaupun ia sedikit sakit hati.  Sepenuhnya dia berbohong, duke baru merubah sikapnya akhir-akhir ini dan tidak mungkin pria itu mengajarinya hal sangat remeh seperti membaca. "Apakah bibi ingin ikut bergabung?"

Bibir countes berkedut, perempatan imajiner terlintas dikepalanya. Dia bilang 'ayah' dan sekarang gelandangan ini memanggilnya 'bibi', betapa tidak tahu malunya.

"Pengemis kecil," Wanita itu menggenggam tangan Ariana dengan kasar. "Apa kau pikir kakakku benar-benar menyayangimu, huh? Hubungan keluarga seperti ini mudah sekali hancur, apalagi kau bukan darah dagingnya. Tidak ada hubungan yang terbentuk antara kau dan duke. Orang luar hanyalah orang luar. Ingat itu!" katanya tersenyum miring.

Ariana menurunkan pandangan lalu kembali melebarkan bibirnya, "Kau tidak mengerti bibi. Terkadang hubungan keluarga yang berasal dari keturunan sangat rentan untuk dipecahkan, karena mereka berlomba untuk kepopuleran. Sedangkan aku, gelandangan ini sangat bersyukur hanya karena dapat makan berkali-kali dalam sehari."

"Jika begitu, aku permisi bibi. Semoga harimu menyenangkan." katanya. Gigi putih itu terlihat ketika dia menampilkan senyum lebar. Ariana mengenggam salah satu buku dan potongan kain berlogo dengan erat. Walaupun di permukaan gadis itu tersenyum, di dalam hatinya terasa menjanggal dan memikirkan perkataan countes Blion. Bagaimanapun apa yang dikatakan oleh wanita itu memang benar. Segala kemungkinan bisa terjadi kapan dan dimana saja.

Sementara itu, countes Blion menegang di tempatnya. Wajah tirus itu mengeras bersamaan dengan buku-buku jari yang terlihat menonjol. Setelah melihat punggung kecil itu mulai menjauh, mulutnya mendecih ringan dan beranjak dari sana.

>>>>

Matahari sudah tenggelam beberapa jam lalu. Udara semakin dingin karena angin berhembus walaupun waktu belum terlalu malam. Duke melepaskan mantelnya dan menuju mansion. Kedatangannya disambut dengan seseorang yang mirip dengannya.

"Agnia?"

"Selamat datang, Duke."

"Sedang apa kau disini?"

"Berkunjung, seperti biasa."

"Apa permasalahan bibit penyakit itu belum terselesaikan?"

"Ya, dan aku ingin beristirahat sebentar di tempatmu."

"Lalu, bagaimana dengan suamimu itu?"

"Tentu saja dia sangat sibuk mengurusi berbagai senjata untuk persiapan ekspedisi."

Blair mengangguk dan meninggalkan adiknya. Dia menuju kepada kepala pelayan dan menyakan berbagai hal yang dilakukan putrinya siang tadi. Lagi-lagi pria itu mengangguk mendengar penjelasan kepala pelayan.

Countes Blion mendecih membuat atensi duke teralihkan. "Duke, apa yang membuatmu menjadikan bocah itu anak asuhmu?"

"Karena aku memiliki tujuanku sendiri." katanya menyugar rambut.

"Jadi, kau memanfaatkannya?" Duke menggeleng lalu melenggang pergi. Tatapan countes Blion bukan pada duke jadi dia menafsirkan keterdiaman pria itu menjadi pengiyaan atas pertanyaannya.

worthless daughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang