Sweet

4.5K 693 10
                                    

Tiga hari lagi adalah bulan ke delapan. Itu berarti satu minggu kedepan adalah hari ulang tahunnya. Gadis itu tidak banyak berharap dari keluarga ini. Setiap harinya, dia akan pergi sarapan bersama duke, lalu kembali ke kamar untuk membaca beberapa buku. Terkadang, madam Grine datang untuk melatih tingkat kemampuan dansanya.

Kebanyakan waktu luang ia gunakan untuk mempelajari sihir. Ia tidak tahu apa gunanya belajar sihir seperti itu karena duke tidak lagi mengincar nyawanya. Tapi, Ariana belum tahu mengenai kedua copyan duke versi mini itu akan tetap membunuhnya atau tidak.

Gadis itu belajar sihir hanya karena menyenangkan. Kalaupun Gyren dan Avien masih menginginkan ibunya dengan menggunakan jasad dan nyawa Ariana, setidaknya gadis itu sudah berada di bawah perlindungan duke, pria berkuasa kedua setelah raja.

"Ayah," Ariana mengelap mulutnya dengan napkin. "Bangunan di sayap timur itu apakah sudah selesai di renovasi?"

Duke mengangguk sebagai jawaban. "Belum sepenuhnya selesai, tanah dibawahnya masih belum selesai di keramik."

"Biarkan saja seperti itu. Aku... ingin menggunakannya, apakah boleh?" Pria itu mengernyit sambil menyodorkan sepiring puding kepada anaknya.

"Untuk apa?"

Ariana mengedikkan bahu lalu turun dari kursinya dengan melompat, "Hanya untuk bermain. Ya... ya.." katanya, mata biru itu berkilauan dengan tangan dirangkap di depan dada. Gadis itu sangat tahu cara meluluhkan hati duke.

Blair semakin tidak mengerti dengan tindakan putrinya. Tapi, pria itu mengangguk setelah menatap mata biru Ariana. "Yeay, terima kasih. Ayah memang terbaik." cetusnya mengangkat kedua jempol tinggi-tinggi. Bibir duke berkedut karena menahan senyum. Ia memalingkan wajah ke samping kanan sedangkan gadis itu kembali ke kursinya setelah mendapat persetujuan dan memakan puding coklat dengan nikmat.

>>>

"Selamat tinggal, ayah." Blair menatap kepergian Ariana dan mulai berjalan lurus setelah melambaikan tangan. Hari ini ada rapat dengan aristokrat, dan sebelum itu, waktunya akan Blair gunakan untuk bergelut dengan pena dan tinta miliknya di ruang kerja.

"Bagaimana kita akan mengurus para penipu itu, Blair?"

Rafier menatap wajah temannya dengan santai. Dia membolak-balikkan buku sambil duduk di atas meja membuat pemiliknya mengerutkan bibir tidak senang. "Benar. Aku lupa."

Mereka pergi setelah pria bersurai merah itu meletakkan pena menuju ruang rahasia.

Pintu berderit menampilkan beberapa orang yang sedang digantung tangannya. Dibawah mereka ada beberapa ular berbisa yang siap menerkam dan menjulurkan lidah ringannya.

Pelipis itu dibanjiri dengan keringat, dua orang lainnya memejamkan mata sambil menggerakkan bibir dengan cepat.

"Lepaskan salah satunya." Rafier menuruti perkataan duke. Wajahnya tetap tenang berbeda dengan Blair yang datar, terlihat misterius dan kejam.

Dia mulai duduk di kursi tinggi empuk berwarna biru.

Brak...

"Mo-mohon ampuni saya," katanya sambil terlungkup karena Rafier membanting dengan kasar di bawah kaki duke.

"Berani-beraninya kau mengambil harta yang bukan milikmu. Apa kau meremehkan kekuasaan milik seorang duke?"

"T-tidak tuan. Akh..."

Blair menginjak punggung di bawah kakinya dengan kasar. "Bukan alasan seperti itu, apakah ada komplotan lain yang bekerja sama denganmu selain dua orang itu?"

worthless daughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang