Journey (1)

5K 718 2
                                    

Rambut merah dengan netra emas terlihat lelah memandang kertas di atas meja. Sudah tiga hari, ia mencari gadis kecil itu, namun apa yang ditemukan hanyalah kegagalan. Besok, ia akan pergi untuk observasi. Hutan di sebelah selatan desa Cyoplish adalah tempat yang berbahaya. Duke sengaja memajukan jadwal supaya dia bisa sekaligus mencari Ariana di perjalanan. Dia tidak boleh melepaskan gadis itu.

Tok...tok...

"Masuk!"

"Salam yang mulia! S--"

"Langsung saja, ada apa?"

"Surat dari tuan muda kedua datang."

Duke mengernyit, selama anak itu belajar di akademi tidak pernah mengirim satu surat pun kepadanya. Karena mereka tidak memiliki kepentingan untuk dibahas dan juga duke dengan anak-anaknya tidak dekat. Tapi, ini baru beberapa hari mereka berangkat dan putra bungsunya langsung berkirim surat.

Duke mengambil surat di tangan ksatria pribadinya, lalu mengisyaratkan untuk keluar.

Setelah pria itu hormat, ruangan kembali sepi. Duke membuka perlahan gulungan itu.

"Halo, Ayah!" Senyum Avien merekah dari sana. Sekarang hari sudah malam, sepertinya sekolah mereka sedang mengadakan pesta kecil-kecilan karena ada suara berisik yang teredam.

Avien tidak menggunakan surat tulis, tapi dia menggunakan suratnya sebagai sarana sihir untuk berkomunikasi. Ia pikir akan menyenangkan melihat wajah adiknya itu pada saat ini.

Dahi ayahnya mengkerut keras. "Ada apa?" tanyanya acuh, mengalihkan pandangan.

"Apa Ariana sudah tidur?" Avien bertanya dengan sumringah sedangkan duke menatap anaknya dengan lama sebelum menjawab.

"Tidak ada di rumah!" Duke menghela napas.

"...Ya? Oh apakah dia pergi ke---"

"Tidak, dia... hilang."

Avien mengangguk sebelum membulatkan mata. Dengan meraup oksigen secara bertahap ia memekik keras, "APA? D--dia? Ariana hilang? Bagaimana bisa? Apakah dia diculik?"

"Tidak tahu..."

Avien menggelengkan kepala. Bagaimana mungkin ayahnya bersikap pasrah seperti ini. Ariana hanya gadis kecil, lalu pergi kemana bocah itu. Jika terjadi yang tidak-tidak... Avien benar-benar tidak bisa membayangkannya. Lagipula anak kecil itu masih berusia delapan tahun, tidak mempunyai sihir maupun kemampuan bela diri.

"Ayah cepat jelaskan bagaimana kronologisnya." Remaja itu mendesak sambil meninju kertas gulungan membuat duke kesal. Anak ini benar-benar tidak tahu sopan santun.

Duke mengambil napas panjang sebelum mengeluarkannya. "Ariana tau jika dia diadopsi hanya untuk dibunuh. Lalu dia bertanya kepadaku kebenarannya. Ayah tidak tau harus menjawab apa... ayah benar-benar bingung. Setelah itu, Ariana pergi ke kamar. Saat malam tiba, ayah pergi untuk berbicara dengannya tapi dia sudah tidak ada."

Avien mengacak rambut frustasi. Bukankah mereka pernah membicarakan soal pengadopsian Ariana dan membatalkan untuk mengorbankan gadis itu. Lalu mengapa duke melakukan hal konyol seperti ini....

"Ayah! Dengarkan aku. Sepertinya kita bertiga sudah mendiskusikan untuk menjaga Ariana bukan karena dia ingin dijadikan korban, tapi benar-benar menyayanginya. Sekarang anak itu sudah menjadi adikku, ayah. Adik kak Gyren dan anakmu! Ayah ingat? Saat Ariana mencoba bunuh diri di kamarnya?" Wajah duke mengangguk lesu. Ia ingat betul saat Ariana mencoba menggoreskan lengannya sendiri menggunakan serpihan kaca (saat Ariana pertama kali belajar aura dan tidak berhasil mengendalikannya membuat kaca pecah). Jika saja Gyren tidak membuka paksa pintu kamar, sudah dipastikan gadis itu benar-benar tiada.

worthless daughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang