Basa-basi

4.9K 750 4
                                    

Keadaan mansion sangat sunyi dan tegang. Para karyawan di sana terkejut karena tuan duke sudah pulang dengan membawa seorang gadis kecil di gendongannya.

"Cepat panggilkan dokter!" katanya. Kepala pelayan segera menormalkan ekspresi dan keluar dari sana untuk melakukan perintah majikannya. Duke meletakkan tubuh putri kecil itu di ranjang kamarnya. Perlahan tangannya bergerak untuk mengalirkan energi sihir kepada Ariana. Wajah gadis kecil itu sedikit pucat. Duke melakukan pertolongan pertama dengan memberi sedikit sihir primernya sebagai sihir penyembuh. Bibirnya sedikit terangkat melihat nafas Ariana yang mulai teratur.

Dokter datang dengan membawa tas di tangan kiri, mulai memeriksa Ariana.

"Permisi, tuanku." katanya meminta izin. Duke berpindah, masih tidak berhenti mengalirkan sihirnya. "Tubuh nona kelelahan. Perutnya kosong sekarang, sepertinya selama ini nona tidak makan dengan benar." Duke menyeka keringat. Bibir Ariana tidak lagi pucat.

"Tolong minum obatnya setelah makan, dua kali sehari." katanya menyerahkan sesuatu kepada duke. Pria itu mengangguk sebelum mengusir dokter dengan halus. Tak lama setelah itu mata gadis kecil di ranjangnya bergerak-gerak dan perlahan terbuka. Duke tersenyum lembut menatap Ariana.

"Apakah masih sakit?" tanyanya. Gadis itu menatap sekeliling, masih mencerna apa yang terjadi. Terakhir kali dia mengobati teman Dhes dengan menggunakan energi sihir. Jadi, dia tidak mati walaupun hampir menghabiskan energi sihirnya.

Yah, seperti yang diharapkan dari penyihir ametyhs.

Netra biru itu menatap duke dengan heran. Sedetik kemudian beringsut mundur sambil meraba rambutnya.

"Celaka, ini sudah berubah."

Gadis itu menyibak selimutnya hendak beranjak pergi. Tapi kaki kecil itu belum kuat untuk menopang tubuhnya. Ariana limbung dan ambruk. Ia merasa sangat lemas sekarang.

Duke langsung berlari ke sisi ranjang yang lain. "Aria... kamu ingin kemana?" tanyanya. Gadis kecil itu bertambah takut dengan pertanyaan duke. Tangan kecil di genggaman pria itu mulai gemetar. "Santai saja, tidak usah takut. Nah, sekarang ayo berbaring lagi." Duke mulai mengangkat tubuh kecil putrinya lalu membunyikan lonceng di atas meja. Seorang pelayan masuk setelah itu keluar lagi setelah duke bilang untuk membuat bubur.

Ariana tidak tau apa yang harus dilakukannya sekarang. Ingin bergerak pun rasanya sangat kaku karena sedari tadi duke menatap dirinya. "Ariana.. ayah minta maaf untuk kesekian kalinya." Duke berkata memandang gadis itu. Wajahnya terlihat sangat menyesal.

Gadis bersurai merah muda itu menatap duke dengan mata berkedip. "Apakah ayah akan selalu meminta maaf dan mengulangi kesalahan yang sama?" katanya sedikit pelan.

"Tidak! Kali ini ayah benar-benar meminta maaf."

"Untuk apa? Aku mengerti ayah meminta maaf hanya agar aku tidak pergi dari rumah. Selanjutnya, kau pasti akan menggunakanku." Ariana berkata tidak menatap duke. Wajah pria itu mengeras, menggelengkan kepala.

"Tidak, bukan itu."

"Lalu apa? Memang seharusnya aku tidak pernah dilahirkan atau setidaknya mati saja sebelum bertemu denganmu. Aku terlalu lelah, ayah. Kamu tidak mengerti rasanya. Di dunia ini tidak pernah ada yang mengerti diriku. Semua orang membenciku. Setiap hari, aku hidup dalam ketakutan, memikirkan bagaimana caranya untuk bertahan hidup besok. Tapi, kamu menggunakanku untuk semua hal yang telah kamu rencanakan."

Gadis itu mulai menangis. Menangisi nasibnya selama ini. Mengingat bagaimana sakit hatinya menghadapi keluarga duke. Selama tiga periode ia terus disiksa, tidak hanya fisik tapi juga batinnya.

"Setidaknya tolong biarkan aku hidup dengan bebas. Jangan berikan harapan apapun kepadaku, jangan perhatikan aku. Biarkan aku melakukan apapun sesuai dengan keinginanku, ayah. Biarkan aku hidup sendiri. Pikirkan saja dirimu dan kedua putramu karena aku tidak pernah ada di dunia ini, tolong.."

Duke menatap tanpa daya. Ariana menutupi wajahnya yang berlinang air mata.

"Tidak lagi, Ariana. Ayah tidak akan menggunakanmu. Kamu tidak akan pernah dikorbankan karena kamu adalah putriku."

Ariana mengusap wajahnya lalu menggeleng. Ia tidak percaya dengan keluarga ini lagi. Dimatanya, duke hanya bermain-main. Pria itu tidak sungguh-sungguh. "Ariana lihat. Demi dewa api, ayah berjanji untuk tidak akan menggunakanmu. Ayah tidak mau kehilanganmu lagi, Ariana."

Gadis bersurai merah muda itu menatap wajah duke. Sumpah itu tidak bisa hanya untuk main-main, "Ayah... kamu tidak mencintai istrimu lagi?"

"Sampai aku matipun akan tetap mencintainya. Tapi, aku tidak akan mengorbankan putriku sendiri untuk menukarnya. Setelah ayah berpikir, mungkin sampai saat itu garis jodoh ayah dengannya."

"Kamu tidak boleh main-main dengan sumpahmu, ayah." katanya mengusap lintasan air mata.

Duke mengangguk mantap, "Tidak akan! Ayah akan menjagamu mulai sekarang."

"Sungguh?"

"Ayah janji!" katanya mengaitkan jari kelingking miliknya dengan gadis itu. "Nah, sekarang ayo makan."

Gadis itu menatap bubur di depannya. Kenapa saat sakit pasti identik dengan bubur? Padahal ia ingin makan makanan enak setelah lebih dari satu minggu hanya makan buah.

"Ayah." katanya pelan. Duke menyendokkan bubur dan mulai menyuapi gadis kecil di depannya. Ariana menggeleng, menggeser sendok di tangan duke. "Mola ada dimana?"

"Dia sedang pulang ke desanya karena mendapat surat dari kepala desa bahwa ibunya sudah ditemukan."

Dahi gadis itu mengkerut, "Bukankah Mola dari kota ini? Lalu, bagaimana ceritanya dia masih mempunyai ibu?" Ariana tidak menyangka bahwa ibu pelayannya masih hidup. Tidak ada yang seperti itu di masa lalu.

Pria bersurai merah di sana menggosok hidung dengan pelan. "Tanyakan itu nanti. Sekarang kamu harus makan. Ayo katakan 'aah'."

"....."

"Ariana ayo makan. Setelah pulih kamu boleh pergi kemanapun yang kamu suka."

Ariana bimbang. Ia ingin sekali percaya kepada Duke untuk kesekian kalinya. Karena hanya mereka keluarga satu-satunya yang ia miliki walaupun bukan keluarga kandung. Ibunya pergi entah kemana, Ariana juga ingin mencari ibunya untuk kesempatan hidupnya sekarang. Tapi, dia tidak tahu harus memulai darimana. Dia tidak ingin bergantung hidup kepada keluarga bangsawan ini lagi, tapi apa daya dirinya bukan hanya seorang anak kecil. Namun, dia juga tidak mempunyai pengalaman apapun untuk memulai bisnis dan menghidupi dirinya sendiri.

"Ayah... penyusup yang saat itu datang ke mansion bagaimana kasusnya?" Meninggalkan kecamuk di otaknya, gadis itu mengalihkan pikiran dan bertanya secara abstrak.

"Mereka datang ke tempatmu?" tanya duke memastikan. Gadis kecil itu mengangguk pelan.

Pria itu diam tidak tahu harus menanggapi bagaimana.

"Apakah mereka dikirim oleh Count Dioz?" Ariana bertanya sembarangan. Mungkin saja benar, karena dulu, Count suka sekali mencari masalah dengan keluarga duke.

"Tidak, bukan itu." Duke menggeleng sebelum melanjutkan. "Bajingan itu tidak akan berani bermain sembarangan. Juga... dia sangat lihai dalam urusan bisnis dan tidak mungkin mempunyai pemikiran sampai mengirim penyusup." Ariana mengangguk. Benar juga, Count iri kepada duke karena kekayaan pria ini.

"Lalu, ayah--"

"Cukup berbincangnya. Sekarang kamu harus tidur. Ayah berada di ruang kerja, jika butuh sesuatu bunyikan loncengnya." Pria itu menarik selimut dan membaringkan tubuh lemas Ariana.

Sebelum menutup pintu, dia tersenyum kontras dengan Ariana yang menatap tanpa ekspresi.

>>>>

Yosh tiga hari tidak jumpa, gimana kabar kalian? Kuharap baik-baik saja.

Im so excited.

Why?

Yaa karena masih ada yang baca book ini walaupun masih banyak kekurangan dalam segi alur dan tata bahasa yang digunakan. Yak, keep spirit and never give up. Byeee

worthless daughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang