29.

4.1K 679 10
                                    

"AYAH?"

Ariana berteriak, membulatkan matanya. Duke tersenyum miring lalu melempar pedang ke sembarang arah. Pria itu jongkok dan mengulurkan tangannya. "Apa yang kamu lakukan di sini, putriku." tanyanya.

Gadis itu masih diam. Tangannya benar-benar lelah dan keram, tidak bisa digerakkan. Ia menggeleng sambil mengerutkan bibir. "Apa yang ayah lakukan disini. Oh maafkan aku, tanganku sangat lemas dan tidak bisa digerakkan." katanya. Gadis itu kini ambruk, tidur terlentang karena terlalu lelah.

"Tadi itu menyenangkan, ayo lakukan lagi lain kali." Gadis itu bergumam sambil menatap langit cerah. Duke tersenyum lebar membuat bawahannya tercengang. Para ksatria itu terperangah, kapan terakhir kali duke tersenyum seperti itu, sepuluh tahun yang lalu? Dua puluh tahun yang lalu?

"Salam, Yang mulia. Mohon maafkan atas kesalahan saya. Tindakan pasukan memang diluar batas dalam memperlakukan nona muda." Kapten pasukan bayangan maju sambil berlutut, berucap tegas. Duke melirik, menanggalkan senyumnya. Suasana menjadi tegang. Pria itu mengingat mereka telah mempertanyakan keberadaan Ariana dan mengolok-olok putrinya. Itu tindakan yang tidak bisa di maafkan.

"Ah... ayah. Perihal itu tolong jangan dipermasalahkan. Sekarang aku lapar..." katanya. Lina yang sedari tadi menonton, menatap gadis kecil itu khawatir.

"Mari, saya gendong nona. Anda terlihat lelah."

Gadis itu menggeleng di tidurnya. "Tidak! Aku ingin bersama ayah." ujarnya. Duke tersenyum senang dan langsung mengangkat tubuh kecil Ariana. Ia tidak sungkan walaupun tubuh gadis kecil itu kotor dan lembab karena keringat.

Ariana membalikkan wajahnya saat duke berjalan meninggalkan lapangan. Ia mengangkat tangan dan melambai pelan sambil tersenyum lebar kearah para ksatria itu. Mereka menatap kepergian gadis kecil di gendongan duke dengan senyum merekah.

"Nona kecil sangat baik hati. Hampir saja..." Seorang ksatria bersurai krem mengelus dada sambil berkata penuh kekaguman.

"Dan juga kuat." tambah ksatria lainnya.

"Oy oy... apakah dia manusia? Lihat nona muda mampu bertahan dari serangan duke selama lima belas menit. Kita kalah telak!" Salah satu ksatria yang berduel dengan gadis itu menatap punggung duke yang semakin menjauh.

"Benar-benar keren!" Braisant berucap semangat.

"Nah hentikan itu, kalian! Sekarang lanjutkan latihannya. Apakah kalian tidak malu dengan putri kecil duke. Huh, lemah." Kapten pasukan bayangan itu mendecih.

Mereka kembali berbaris dengan semangat. Nona kecil, Ariana menjadi inspirator para ksatria itu dalam berlatih dengan sungguh-sungguh. Keimutan dan ketangguhan gadis itu melebur menjadi satu membentuk kekaguman diantara mereka.

"Itulah nona kecil kita. Seperti malaikat yang turun dari surga."

>>>>

"Kapan kamu pulang, Ayah? Apakah urusan penyihir itu sudah selesai?" Mereka duduk di ruang makan, hanya menunggu beberapa menit lagi untuk jadwal makan siang, koki di dapur buru-buru menyiapkan makanannya karena duke datang lebih awal.

"Baru saja. Apa yang kamu lakukan di lapangan sampai-sampai mereka bergantian untuk menantangmu?"

"Hanya melihat-lihat." Bohong. Tentu saja Ariana tidak akan mengatakan yang sebenarnya.

"Mereka melukaimu?"

Gadis bersurai merah muda itu menggeleng pelan. Sedangkan duke mengangguk percaya. Toh dia melihatnya sendiri bagaimana bocah kecil ini mengalahkan ksatrianya. "Lalu, darimana kamu bisa sehebat itu dalam menggunakan pedang dan aura... juga sihir."

Ariana menatap duke dari kursinya lalu berkedip cepat. Setidaknya, ia merasa lega karena sudah mempersiapkan jawabannya. "Belajar dari buku."

"Ariana sudah bisa membaca?" Duke masih saja bertanya. Gadis itu menelan ludah pahit. Ia benar-benar lupa, duke belum mengirimkan seseorang untuk mengajarinya.

"Euh y-ya aku... belajar dari Mola. Selebihnya otodidak. Ayah tau? Aku adalah Ariana si jenius." katanya tersenyum. Pria bersurai merah di sana mulai mengambil garpu, melirik gadis kecil itu dengan aneh. Ariana tidak peduli duke percaya atau tidak. Ia sedang lapar sekarang.

Lihat saja, matanya berbinar saat melihat makanan di sajikan. Tangannya terangkat memegang peralatan makan.

Prang...

Garpu dan pisau itu jatuh di lantai. Ariana menatap peralatan makanan dengan menghela napas, menurunkan kelopak matanya. "Maaf sepertinya, tanganku belum sembuh." Gadis itu tidak berbohong. Memang benar jika kedua tangannya terasa seperti gumpalan daging tanpa tulang, sangat tidak bertenaga. "Uh.. ayah aku akan makan di kamar saja." katanya lesu.

Duke menatap gadis itu dengan pandangan bersalah. Sepertinya dia terlalu keras dalam melawan anak itu tadi.

Kaki Ariana terangkat. Pria itu menggendong Ariana setelah mendorong kursi. Mereka duduk di kursi tunggal. "Apakah masih sakit?" duke balik menatap netra biru putrinya. Tubuh kecil Ariana terlihat tegang karena selama ini belum pernah duduk di pangkuan ayahnya. Setelahnya, gadis itu menggeleng pelan.

"Ayo buka mulutmu." Pria itu menusuk daging panggang dan menyodorkannya pada Ariana. Gadis dipangkuannya membuka mulut dan mengunyah dengan pelan.

Dia menurunkan pandangan. Sampai saat ini takdirnya berubah, tidak ada lagi tatapan dingin dan tidak peduli dari duke, bahkan sekarang pria itu mau menggendongnya, menyuapi, bahkan menolongnya di saat genting. Perlakuan orang di mansion ini juga menjadi sangat baik tidak seperti kehidupannya yang lalu. Dahulu, gadis itu sangat kurus karena tidak pernah diberi makan dengan benar. Sekarang, dia bisa merasakan hangatnya pelukan seorang ayah, manisnya diperlakukan sebagai putri yang berharga.

Daging dimulutnya sangat lezat dan lembut. Perlahan air mata turun dari kelopaknya, lama kelamaan itu semakin deras. Duke melihat bahu gadis di pangkuannya bergetar menatap khawatir. "Ariana, kenapa menangis? Ini tidak enak?"

"Panggilkan koki yang membuatnya cepat!" Perkataan yang keluar dari mulutnya sangat dingin. Kepala pelayan di belakang memegang serbet dan mulai  beranjak dari sana.

"Tidak, kakek. Tungu-- tunggu..." Gadis itu menatap kepala pelayan lalu berpindah pada duke dengan matanya yang berkaca-kaca. "Ini sangat enak! Ayo suapi aku lagi." Ia menyesal karena perkataan duke yang serampangan. Bagaimana mungkin makanan seperti ini dibilang tidak enak.

>>>

"Keparat mana yang mengganggu rencanaku?" Dekorasi serba hitam dan merah mengelilingi ruangan. Langit-langit kastil menampilkan lampu gantung berwarna putih. Telinga mereka berdengung mendengar suara melengking di sekitar. Para pengikut menurunkan lutut dan tangan, tertunduk.

"Target kita menangkap salah satu penyihir di sini, Yang mulia?" Walau bergetar kerongkongannya, pria itu mulai bersuara. "Hutan yang digunakan sebagai pengalihan sudah tidak bisa digunakan,"

Rahang pria itu mengeras. "Percepat rencana akhir, kemudian siapkan tiga pasukan!"

"Baik."

>>>>

Yosh, weekend. Hari ini, saya libur jadi yaaa hitung-hitung menuhin keinginan kalian yang pengen next, walaupun part ini pendek sih. Saya minta maaf karena nggak bisa balesin komenan kalian m(._.)m

Sesuai janji, hari ini wifi lancar jadi up lagi padahal kemarin baru up. Saya sangat excited melihat apresiasi kalian, so jangan lupa untuk selalu kawal book ini. Bye👋

worthless daughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang