The Trace
_______________
Hamparan cakrawala perlahan berganti warna. Midnight blue itu memudar seiring dengan torehan kemerahan di ufuk timur. Semburat yang kemudian berubah kekuningan yang memancar lebih luas. Dalam beberapa kejapan mata seperti ada Zat Agung yang pagi itu sedang melukiskan aneka warna biru di kanvas yang lebih luas dari samudra. Awan abu-abu yang tadinya bergulung besar sudah terbang menuju tempat lain, tergantikan uraian tipis seperti helai sayap merpati. Menoreh sekenanya pada bentang yang ia suka.
Mungkin sebab kesadarannya berlalu lalang antara alam sekitar dan ruang pikirnya, Nia tak begitu menghitung waktu yang telah berlalu mendinginkan kopi dalam cangkirnya. Ia menurunkan kakinya berhati-hati disertai gerutu ringan sebab mati rasa.
Perempuan itu mendesis ringan. Belum beranjak, masih berusaha menggerakkan ujung jemarinya yang berwarna pucat. Jika pegal karena kelamaan berdiri selama jaga, ia biasanya menyandarkan kakinya lebih tinggi ke dinding, atau di sini, di balkon apartemen barunya sambil duduk di bean-bag yang ia seret keluar. Biasanya ia cukup melakukan kegiatan itu selama 15 hingga 20 menit saja, untuk melancarkan peredaran darah kakinya dan mengurangi bengkak. Namun dalam pagi ini ia lupa sejak pukul berapa membiarkan kakinya dalam posisi itu. Apakah tadi sebelum matahari terbit?
Selepas menghadiri acara pernikahan ia membersihkan diri. Membilas cermat tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki. Sambil mengeringkan rambut, ia menjejalkan roti bakar sisa jajan semalam ke dalam lambungnya. Sesaat kemudian ia menyerah pada kantuk tak sanggup lagi ia tahan.
Pukul dua pagi ia terbangun karena haus. Ia bangkit, menenggak setengah liter air sekaligus, lalu membuka layar kotaknya untuk menonton anime. Dirinya sudah merasa cukup awake dengan 10 jam tidur, yakin kalau ia tak akan mampu menunggu subuh dengan hanya terlelap. Mungkin ini penyakit, atau ia sendiri masih pemula, tak tahu bagaimana cara hidup yang benar. Baginya cukup ia akan bangun dikala dibutuhkan untuk bangun, dan tidur di waktu lainnya. Ia merebus mie instan sebagai makan malamnya, dan merasa bersalah di sepertiga sisa piring. Berjanji untuk lebih mengatur waktu tidur dan pola makan--janji yang masih sangat cepat sekali tidak tertepati.
Entah berapa puluh menit berlalu sebelum ia bosan, ia memilih menggeret tubuhnya melintasi pintu balkon. Membawa secangkir kopi hangat dan ipadnya. Jemarinya cekatan memindah layar, membuka lembar-lembar bookmark yang ia simpan sebelum sekarang. Fokusnya penuh pada kajian terbaru dari keilmuan yang ia dalami. Ia sengaja membiarkan udara dini hari menerpa kulit wajahnya. Membantunya untuk fokus mereview jurnal penelitian. Walau dalam sekali duduk, pikirannya teralihkan beberapa kali oleh satu nama.
William Effendi.
Harusnya, semua jadi lebih mudah kalau gue nggak ngajak dia bicara, iya kan?
Nia meletakkan lengan kiri di atas dahinya. Sudah terlambat untuk menyesali aksinya, tetapi toh ia merasa perlu menyesal juga. Setelah ini, lalu bagaimana?
"Sara Bareilles?"
"Eh?"
"Nada deringmu." Pria itu masih menatap lurus jalanan ketika mengungkapkannya.
Dahi Nia mengernyit menyadari William bisa mengenal pemilik lagu dari ringtone yang terdengar dari handphone-nya yang berbunyi beberapa waktu lalu. Padahal ia hanya memasang instrumental melody. Dan memangnya berapa detik, sih, intro lagu tersebut terdengar sampai ia mengangkat telepon?
KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Caramel
Художественная прозаPerkenalkan, dia adalah Nia, dokter muda, penyuka manis, yang sedang mengejar cita-cita, tetapi sering dijodoh-jodohkan mamanya. Ia berjabat tangan dengan William di sebuah jamuan makan malam. Pengusaha, penyuka sup asin, yang tak percaya pada cinta...