The Gate
_______________
Matahari masih menggantung jelas menciptakan bayangan benda-benda memanjang. Gedung-gedung tinggi, pepohonan yang jarang, tiang listrik, mobil, benda apa-pun yang tumpah di hamparan bumi ini meninggalkan bayangan tersirami sorot kekuningan.
Perempuan itu berada dalam bayangan atap mobilnya. Tangannya menurunkan sun visor untuk menghalau sinar matahari yang terpancar terang dari arah barat menyilaukan matanya. Walau tak begitu membantu. Matahari sudah lebih rendah dari yang bisa dihalau benda itu. Tangan kirinya beralih membuka laci mengambil sunglass dan mengenakan secepatnya. Seharusnya tidak perlu lama ia memandang matahari sampai mobil ini menemukan belokan ke utara. Namun jalan menuju rumah orang tuanya tidak pernah tidak ramai. Ini masih jumat. Dirinya berada di kerumunan ribuan orang yang hendak pulang.
Dapat dikatakan ia memiliki love-hate relationship dengan kemacetan. Ralat, mungkin bukan love, mungkin a so-so and hate relationship, lebih berat pada ketidaksukaan. Beberapa kegiatan hariannya menuntut dirinya untuk cepat berpindah, misalnya ketika berada di ambulan menjemput dan mengantar orang sakit, kemacetan jadi penghalang paling klasik—like some people still unknowingly enough to put right priority on that kind of rush, meski sirine sudah dinyalakan beberapa masih bebal enggan berjalan minggir memberi celah—mungkin merasa dirinya juga berhak berjalan duluan dan memiliki rush yang sepadan atau karena tidak ada jarak lagi untuk menepi di tengah himpitan kendaraan yang jaraknya hanya beberapa senti.
Maka ia sendiri masih menikmati so-so relationship-nya dengan kemacetan. Sebagai penghuni ibu kota, atau bahasa kerennya as Jakartans, bersahabat dengan kemacetan harus jadi kemampuan pertama untuk bisa survive. Ia senang apabila waktu pulang jadi agenda non-rushed setelah kerja yang menuntut dirinya untuk cepat dan tepat. Ia menikmati kelambanan ini, sambil menikmati cahaya sore yang kerap kali lupa untuk disyukuri. Terlalu sering mata ini memindai sumber cahaya imitasi: layar ponsel, layar komputer, lampu warna-warni, dan terbanyak papan baliho digital yang terpampang di perjalanan. Ia membiarkan dirinya berjalan pelan dan menikmati kesilauan cahaya itu sambil mendengarkan alunan lagu dari radio yang suaranya timbul tenggelam dengan bising klakson dan mesin.
Sebenarnya, rumah pulangnya tidak terlampau jauh dari sehari-hari ia bekerja. Salemba-Puri Indah kan cuma 20 "kilometeran". Meski tetap saja, yang namanya jalanan Jakarta sukar diprediksi longgarnya kapan. Ia bisa saja sampai rumah dalam 20 menit, atau 2 jam, dan bahkan lebih. Waktu yang banyak bagi sebagian orang jika hanya dihabiskan di jalan.
Jemarinya bergerak mengetuk-ngetuk kemudi, menikmati suara musik dengan hati-hati. Ia memang tidak sedang mengendarai sepeda seperti dalam liriknya. Namun, toh ia sama-sama sedang mengarungi lautan kendaraan di jalan raya ini. Bibirnya tersenyum kecil mendengar frasa "maafkan Jakarta" yang terlantun, jadi pengingat lucu soal cara menikmati kota ini: bahwa untuk merayakan gemerlapnya harus selalu diiringi dengan melapangkan dada menerima kekurangannya.
"Hadeeh." Lirih ia menyuarakan kemasygulannya tatkala melihat layar dashboard yang menampilkan datangnya panggilan baru. Dari orang yang sama, yang juga sempat menelepon ponselnya dua kali sebelum sekarang. Mamanya. Padahal sebelum berangkat ia sudah mengabari soal perjalanannya ini tetapi barangkali perempuan yang melahirkannya ini terlampau tidak sabar. Ia membiarkan deringnya berlalu, kemudian mengirimkan voice note singkat sebagai balasan. "Iya, Ma. Lagi di jalan."
Sebagai orang yang tak terbiasa dinantikan kepulangannya, ia tahu alasan mengapa mamanya riweuh sejak tadi. Membombardirnya dengan panggilan bahkan sejak ia masih bekerja. Sebab malam ini, dipaksa pulang untuk dikenalkan dengan calon suaminya--untuk kesekian kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Caramel
General FictionPerkenalkan, dia adalah Nia, dokter muda, penyuka manis, yang sedang mengejar cita-cita, tetapi sering dijodoh-jodohkan mamanya. Ia berjabat tangan dengan William di sebuah jamuan makan malam. Pengusaha, penyuka sup asin, yang tak percaya pada cinta...