Suara alat makan dan bincang obrolan terdengar beradu di bawah genting seng bercat biru. Uap air yang keluar dari panci besar yang terletak di dekat pintu masuk terbang memenuhi ruang udara kedai berukuran empat kali enam meter itu. Menghangatkan—lebih tepatnya sebenarnya membuat gerah sebagian besar makhluk yang bernapas di ruangan itu—dan mengirimkan aroma gurih dari gabungan msg, kaldu, dan sari dari bakso yang sedang direbus di dalamnya.
Perempuan itu melepas jas putih khas profesi dari badannya dan melipatnya rapi di atas pahanya, kemudian meletakkan kain itu di atas setumpuk lembar kertas ber-highlight warna-warni pada barisan kalimat pentingnya yang berada di kursi kosong samping ia duduk. Tangannya lalu bergerak meraih scrunchie hitam yang membingkai pergelangan tangan kanannya, merenggangkan dengan jemari sendiri sebelum membuat benda itu melilit rambut sebahunya. Menahan supaya tidak ada helai yang menempel di lehernya yang mulai lembap karena keringat.
Ia kemudian menarik setumpuk kertas di bawah jas yang terlipat, mengibaskan dalam posisi vertikal untuk memunculkan udara yang bergerak menghempas permukaan kulit agar titik air yang muncul menguap dari sana. Mengipasi dirinya sendiri karena kipas tua penuh debu yang berputar di langit-langit tidak cukup untuk mendinginkan suhu tengah hari Jakarta di musim kemarau ini. Mulutnya bergabung, ikut sibuk bertukar kalimat dengan teman makannya, ikut mencemari ruangan ini dengan suara sampai seseorang datang dan membuatnya diam.
Seorang pria mengenakan jas abu muda di atas kaos putih polosnya berjalan memasuki kedai dan berdiri di dekatnya. Perempuan itu menoleh setelah menghirup aroma lain selain kuah bakso yang membangkitkan ingatannya.
"Kok ke sini sih?" Setelah hanya bertukar tatap perempuan itu akhirnya bersuara. Bertanya pada laki-laki yang masih berdiri.
"Kita perlu bicara."
Formal. Perempuan itu tak sungguh menyukainya.
"Kan kemarin udah diomongin."
"Enggak cukup, Nya." Laki-laki itu menenggak ludahnya. Raut wajahnya tak menentu diartikan sebab menyiratkan lelah, perasaan frustrasi, kebingungan yang melanda yang bercampur menjadi satu. "Aku boleh duduk?" Tanyanya pada perempuan yang menjadi alasannya kemari, lalu melirik empat manusia lain yang mengelilingi meja kedai nomor 5 itu.
Perempuan berkuncir kuda itu tak bersuara, tangannya yang bergerak mengambil setumpuk barang miliknya yang mulanya menjadi tuan kursi. Memberi izin dengan isyarat.
Tidak perlu bisik-bisik rancu. Teman-temannya sudah tahu siapa ia. Kepala-kepala itu menoleh memberi ruang untuk berdua dengan berbicara satu sama lain--berusaha mengacuhkan pembicaraan pribadi si pemilik urusan.
"Aku pikir semua sudah jelas," lirih sang puan berkata pada pendatang laki-laki,
"Aku nggak dikasih minum dulu? Aku tadi habis rapat langsung ke bandara, dan dari bandara langsung ke sini, nyari-nyari kamu di dari depan rumah sakit. Tanya ke hampir 5 orang. Dari satpam depan aku disuruh ke departemen kamu. Udah sampai sana aku tanya resepsionis, bilangnya nggak tahu. Terus aku disuruh tanya ke dalam ruangan, di sana isinya hanya satu orang. Pas aku tanya kamu di mana, jawabnya kurang yakin mungkin lagi makan. Terus aku keluar lagi buat cari kantin, aku lihatin sambil tanya penjaganya, kamu juga enggak ada. Akhirnya aku ngikutin orang-orang yang lagi jalan dan nemu deretan tempat makan ini, lihatin lagi satu-satu ke dalam sampai aku ketemu kamu di sini."
"Dan kamu milih jelasin itu semua daripada pesen minum?"
Pria itu mengatupkan mulutnya sambil membentuk lengkungan sedikit ke bawah. Cemberut. Perempuan itu terlalu rasional.
Meski tetap memiliki hati nurani. Tangan perempuan itu kemudian menggeser gelas berisi air jeruk peras dan es yang belum ia sentuh, mendekatkannya pada pria itu.
"Bu, es jeruknya tambah dua ya!" serunya kemudian kepada pemilik kedai. "Sama mie ayam baksonya satu, enggak pakai daun bawang."
Laki-laki itu mengubah arah lengkung bibirnya ke atas, tersenyum kecil.
Senyum yang sebentar. Tidak lebih lama dari hinggapnya lalat-lalat yang beradu di pinggiran gelas sebelum terusir oleh kibasan tangan. Berganti dengan helaan napas berat yang teriring di sela perbincangan.
Jika ada yang mengira pertemuan mereka adalah sebuah haru manis yang berbuntut mengukir lengkung senyum itu lebih lama, maka jawabannya tidak. Pertemuan ini tidak mengubah apa yang telah mereka putuskan malam hari lalu.
"This is really not working, is it?"
Laki-laki itu mengisi paru-parunya dengan udara kedai yang panas, menarik sepanjang yang ia bisa untuk mencoba meluaskan dadanya. Mereka hampir menjadi sempurna, jika saja ini adalah hubungan yang terjalin atas mula cinta, pikirnya.
Sedang perempuan itu hanya menggerakkan tangannya untuk mengaduk potongan es yang masih tersisa di gelasnya. Menyeka luarnya dengan tangan supaya dinginnya bisa sampai hati dan pikirannya. Ia telah lelah memikirkan jalan keluar terbaik untuk mereka.
Teman-temannya sudah kembali. Seharusnya ia juga. Sesegera yang ia bisa. Setelah hubungan ini resmi diakhiri.
"Kalau ini memang keputusanmu, aku hormati," laki-laki itu menyambung.
"Aku minta maaf ya, Will..."
Satu dan lebih dulu, ia berkata kepada siapa maaf itu harus terucap.
Tapi tak ada jawaban. Tak ada kata lanjutan. Mereka sudah tidak lagi saling menatap. Sampai satu meninggalkan tempat lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Caramel
Ficción GeneralPerkenalkan, dia adalah Nia, dokter muda, penyuka manis, yang sedang mengejar cita-cita, tetapi sering dijodoh-jodohkan mamanya. Ia berjabat tangan dengan William di sebuah jamuan makan malam. Pengusaha, penyuka sup asin, yang tak percaya pada cinta...