16 | All Things Considered

236 26 1
                                    

Stick to Your Guns

________________




"Gue belum cerita ke elo."

"Apaan?" Anetta sedang menggambar di ipadnya. Ia kemudian mendongak melihat ke arah ponselnya sebab William terdiam.

"He only did that for business," lepas William kemudian.

Kakaknya terlihat mengernyit. Perempuan itu meletakkan apple pencil untuk mengambil handphone, mendekatkan wajahnya ke arah kamera.

"Give me context please." Helaan nafas William memberat. Ia tadi ditelpon kakaknya sekadar bertanya kabar selepas keluar dari rumah sakit. Namun pikiran yang mengganggu ini jadi ikut terutarakan.

"Anya."

"Siapa?"

"Nia." William mengganti nama supaya dikenali oleh kakaknya. "Papi ngenalin cuma biar bisa dapet deal masuk Railways, dibantu sama mamanya Nia."

"Wahh. Si tua itu bener-bener deh." Anetta terlihat memijit pelipisnya. Kalau ia marah, ia bisa menggunakan kata ganti apa saja yang ia ingin bahkan apabila ditujukan kepada papi sekalipun. William bahkan tidak meneruskan bagaimana papinya mengejek profesi Anya. "Udah deh, mending lo keluar aja sekalian dari Ef&D, lakuin yang lo pengen. Lama-lama papi tuh nggak akan tambah respect." Anetta masih mengomel.

"Tapi ya siapa lagi sih, Net, yang bakal bantu papi? Anaknya juga cuma lo sama gue."

"Huh." Anetta kesal. "Kalau gue jadi elo udah gue sambangin tu si tua, gue acak-acak mejanya."

William tersenyum tipis. Hal-hal seperti ini malah menghiburnya.

Dulu, William tak tahu mengapa ia tak suka dekat-dekat dengan papi. Padahal mereka sama-sama laki-laki. Lambat lahun ia bisa mengartikan rasa tidak sukanya ini menjadi benci, lantas saat remaja ia jadi bertanya apakah membenci orang tua itu normal, sampai kemudian ia paham lewat pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh Anetta.

Bahwa mungkin, tidak seluruh perasaan anak kepada orang taunya itu berupa rasa syukur dan kasih sayang. Kadang juga berisi kesedihan, kekecewaan, dan juga rasa tidak senang. Proses-proses yang dialami oleh semua orang adalah sebab-akibat yang baru bisa dipelajari di kemudian hari. Toh memang orangtuanya baru pertama kali menjadi orang tua, selayaknya dengan ia yang baru pertama kali menjadi anak.

"Yah, gue nggak segila elo, Net."

"Kadang perlu lho gila sesekali. Eh tapi," Anetta terlihat berpikir. "Lo sama dia gimana? Siapa tadi lo bilang?"

"Nia?"

"Bukan. Tadi.. You give her pet name?"

William tak langsung menjawab. "Anya cocok sama dia," ujarnya kemudian dengan datar. Anetta memandangi layar tanpa bersuara, William bingung dengan sikap kakaknya ini. "Kenapa sih?"

Kakaknya hanya terlihat mengerling sebentar. "Oke, gue tutup dulu. Kayaknya adikku ini perlu nelpon Anya abis ini." Dan terputus. William tidak sempat mengucap salam atau kata pisah tetapi kakaknya sudah menutup sambungan telepon. Ya sudah.

Ia berjalan ke kasur. Malam masih menunjukkan pukul 8 lebih sedikit namun ia sudah bosan. Ari tidak mengirimkan pekerjaan malam ini sehingga ia pikir waktu yang tersisa boleh dihabiskan dengan bersantai saja. Kalimat terakhir kakaknya masih terngiang. Pria itu membuka aplikasi pesan.

Jawaban terakhir Anya adalah boleh, dan ia belum pernah mencoba sekalipun sejak seminggu yang lalu.

Anya

Salted CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang