23 | Memories Linger

212 23 0
                                    

Wounds that Never Heal

_____________________



Nia tidak bisa tidur. Sejak tadi ia hanya berguling-guling di atas kasurnya sambil meremas boneka kelinci. William yang membelikannya tadi sore sebelum ia terbang ke Surabaya. Padahal besok ia ada jaga pagi. Tetapi hatinya terlalu penuh untuk mulai terlelap. Nia terlalu jatuh cinta.

William mengabari kalau ia sudah sampai. Sudah sejak 3 jam yang lalu sesungguhnya, tetapi lihatlah ia masih berada di atas kasur belum memejamkan mata. Perlu waktu untuk meredakan hatinya yang berbunga-bunga. Ia mengirimkan pesan kepada laki-laki itu. Kata yang bibirnya belum sempat ucapkan. Sebuah pernyataan yang keluar setelah ia benar-benar mengesampingkan ego di kepalanya untuk merasa malu.

Aku sayang kamu, tulisnya.

Setiap bulan ia selalu menantikan hari pertemuan ini. Dirinya mengatur jadwal jaganya sedemikian rupa sehingga ketika William pulang, ia bisa menghabiskan Sabtu Minggu dengan penuh. Walau itu artinya perempuan itu harus lebih rajin dan tekun supaya atasannya mau menerima request jadwal sebulan sekali itu. Sebab sebagai dokter umum sudah biasa baginya untuk mendapat jadwal weekend. Kadang bila diperlukan, ia memilih tanggal pertemuan dengan William di mana ia bisa bertukar jadwal dengan orang-orang terdekatnya.

Kabar soal statusnya yang baru telah ia bagikan dengan Devina dan Jean, dua teman karibnya itu. Aldila barang tentu sudah tidak perlu dihitung lagi sebab sejak masih di bogor saja Nia sudah memborbardir Lala dengan pesan penting mengenai hubungannya. Perasaannya sudah membuncah sejak saat itu. 

Ia tak berbagi ke banyak orang lagi, selain orang-orang yang tahu dengan sendirinya seperti Indra.

"Mobil lo kenapa?"

"Hah? Nggak kenapa-kenapa?"

"Kok gue liat Audi itu kemarenan?" Indra duduk di sampingnya setelah menangani pasien. Pria itu mencoret-coret lembar di depannya untuk mencatat tindakan yang dilakukan.

"Apaan?" Mata Nia masih membaca hasil pemeriksaan pasien untuk diinput ke dalam CPPT Online. Otaknya belum terlalu connect untuk diajak berkomunikasi.

"Audi yang antar jemput elo."

"Oooh." Perempuan itu beroh ringan. Lalu lupa menjawab. Bibirnya sibuk melafalkan lirih diagnosis dan juga preskripsi obat supaya tidak salah menginput.

"Lo udah jadian?" Mendengar ini baru Nia menoleh. Ia tersenyum lebar walau sudah merapatkan bibirnya. Terlalu memalukan untuk tersipu di jam kerja begini.

"Ooooh, pantes sekarang cengar-cengir mulu." Indra menggodanya. 

Padahal mana pernah ia tersenyum kalau tanpa alasan? Ya mungkin memang alasannya tersenyum hari-hari ini sedikit lebih banyak dari sebelumnya. Mengingat William saja, bisa menimbulkan sensasi yang menyebabkan otot di sekitar pipinya itu berkontraksi mengembangkan bibirnya.

"Apa sih."

"Cie. PJnya mana nih?"

Jaman sekarang kalau orang bilang PJ ke yang baru jadian itu bakal ketahuan umurnya. Entah dari mana dulu aturan ini menjamur. Sejak kapan nggak cuma gaji dan kendaraan tapi pacaran juga butuh dipajakin?

"Ayok! Mau di mana?" Tetapi Nia semangat.

Kapan hari Nia hanya mentraktir Indra makan Ayce di Kintan. Ya nggak cuma sih, tetapi mengingat apa yang sudah Indra lakukan Nia merasa balas budinya kecil saja. Kali ini ia akan gunakan kesempatan untuk lebih menyenangkan Indra.

Salted CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang