The Beat
________
Cahaya keemasan belum sepenuhnya hilang dari sore yang berangsur tersapu malam saat William menginjakkan kaki di bandara. Pria itu masih sempat berdiri sejenak di dekat jendela kaca besar mengabadikan warna langit yang ditangkap netranya dengan ponsel persegi. Mengubah keindahan yang akan hilang itu ke dalam bentuk gambar yang masih dapat ia saksikan di kala petang.
Tak lama gelembung pemberitahuan muncul di layar ponselnya, sang penjemput mengabari telah siap berada di posisi. Pria itu bersiap meneruskan langkah. Tangannya memasukkan ponsel ke saku celana. Berjalan gontai menuju gerbang kedatangan. Gerakan kakinya tak lagi dengan perlu terburu atau ragu—telah hafal setiap sudut yang dipunya oleh landasan pergi dan datangnya ini. Entah berapa waktu lagi berlalu hingga ia akan meninggalkan keakraban ini.
Dulunya, ia juga tak terpikir akan menetap di daerah yang berjulukan kota pelabuhan ini. Sudah hampir 3 tahun ia berlalu lalang di kota dengan pantai yang cantik dan pelabuhan yang hiruk pikuk. Mungkin kota ini berbeda dari Jakarta, tetapi keramaian kendaraan dan gedung tinggi yang mulai banyak bermunculan membuat ia tak merasa begitu asing. Hanya terkadang, satu dua hari di antara minggu-minggunya ia merindukan senja yang lain. Hangat dan engap yang berbeda.
"E, kita langsung ke apartemen atau ada ingin mampir, Pak?" Pak Yohan bertanya saat mereka sudah keluar dari area bandara.
William mendongakkan wajahnya dari fokus mencermati ipad membaca agendanya di Makassar bulan ini.
"Hmm." Ia bergumam sebentar mempertimbangkan pilihan makan malam. Ia rindu dengan sup konro, tetapi asupan itu terlalu berat malam ini. "Ke Mie Titi dekat Mall Panakkukang sebentar ya, Pak."
"Baik, Pak."
Besok akan ada agenda rapat membahas proyek baru ship interior. Mungkin sebelum itu, ia akan menghadap HR untuk segera mempromosikan penggantinya. Perlu waktu sebelum ia bisa menyelesaikan proyek yang bisa ia selesaikan, atau jika tak cukup, ia akan handover project besar yang memakan waktu lebih dari dua bulan. Ayahnya sudah menyuruhnya untuk pindah.
"Sebelum Q3 dimulai, seharusnya experience center di Surabaya harus sudah digarap. Papi mau kamu yang handle itu. Setelah peresmian, lancar, dan berhasil, then the branch is yours to lead."
Maka telah seminggu ia berada di Surabaya. Berkoordinasi secara langsung untuk mempelajari ide proyek EC ini.
Dirinya tahu, papinya adalah seorang pengusaha yang ulet dan telaten. Ia memulai mengembangkan bisnis dari sebuah mebel kecil peninggalan eyang. Hampir 25 tahun bergerak di bisnis ini, papi telah banyak mengalami pasang surut dan usaha yang tak main-main dalam menghadapi persaingan. Ia cukup mengagumi papinya dalam hal ini.
Namun, apabila mengambil dari sisi seorang ayah untuknya, terkadang William merasa papinya punya ekspektasi besar untuk putranya sendiri. Seperti seorang sedang mengajakmu berlari dengan langkah lebarnya dan kau dengan kaki mungilmu.
"Makasih, Pak. Besok jemput saya pukul 8 WITA ya." Mereka telah sampai di depan apartemen.
"Baik, Pak."
"Oh tunggu." William yang sudah turun dari mobil berbalik kembali. "Ini buat keluarga ya, Pak. Maaf saya tidak bawa oleh-oleh dari Surabaya." Pria itu menyerahkan paperbag yang ia tenteng, menyisakan seporsi kecil miliknya.
Setelah mengucap banyak terima kasih Pak Yohan melajukan kendaraan. William sendiri tak langsung menuju lobi melainkan berjalan ke arah basement parkiran. Di sana ia menekan kunci mobil di tangannya membunyikan tanda. Ia membuka pintu mobil untuk mengambil sebotol dry food yang tersedia di belakang kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Caramel
Ficción GeneralPerkenalkan, dia adalah Nia, dokter muda, penyuka manis, yang sedang mengejar cita-cita, tetapi sering dijodoh-jodohkan mamanya. Ia berjabat tangan dengan William di sebuah jamuan makan malam. Pengusaha, penyuka sup asin, yang tak percaya pada cinta...