The Meeting
_______________
Pernikahan sepertinya akan jadi sebuah agenda yang tidak lazim apabila tidak dirayakan. Tidak merayakan ulang tahun masih tidak apa-apa, tidak ikut wisuda merayakan kelulusan juga baik-baik saja, akan tetapi tidak membuat ceremony di hari pasangan mengucap janji rasanya masih belum wajar di sosieti ini. Entah siapa yang memulai, perkara meriah atau tidak pesta pernikahan itu wajib ada.
Mungkin merujuk sisi positifnya yakni agar orang lain bisa melihat rupa bahagia dari pasangan yang menikah, dan ikut merasakan. Bahagia kan memang selayaknya hal baik, patut untuk dibagikan. Selain kadang ini juga diperlukan, untuk menutup apabila ada desus 'nikahnya diam-diam karena hamil duluan'.
"Tuh, bu. Neng Aldila teh dilihat masih langsing, enggak pucat juga, enggak mungkin hamil duluan."
"Yeee, pan makek mek-ap, Bu. Mana kelihatan. Lihat nanti kalau punya anak sembilan bulan apa kurang dari hari ini. Lagian masnya itu juga masih sering nginep di rumahnya Bu Mala."
"Ya justru itu kan bu, ada Bu Mala sendiri, masa iya mau aneh-aneh. Mau gituan kan enak di hotel yang sepi."
"Hush, buibu, nggak baik ngomongin orang apalagi di nikahan orangnya."
Telinga William mendengar obrolan tiga ibu yang berdiri di samping meja tamu tak jauh darinya. Mereka sedang mengerubungi satu pigura yang dipasang dia atas penyangga kayu, memperlihatkan foto pre-wedding pasangan ini di sebuah kebun bunga. Pria itu hanya menghela napas pelan. Membatin soal mengapa orang merasa perlu membuat-buat cerita mengenai orang lain, yang entah kebenarannya tidak dapat divalidasi. Manusia memang perlu berkomunikasi, perlu bersosialisasi, tetapi membicarakan hal-hal yang tak penting atau mengatakan perkara yang bahkan tidak benar demi menyenangkan telinga orang lain bukan kegemarannya. Walau ia tahu, di dunia yang tak ideal ini, menerka-nerka jalan cerita orang lain masih sesuatu yang dianggap menyenangkan.
Tidak, ia juga tidak sedang sepihak dengan ibu yang menuduh mempelai perempuan. Meski dirinya tidak begitu mengenal dekat, tetapi kan ia kenal dengan sahabatnya, Arvin, sosok yang melakukan segala sesuatu dengan hati-hati dan meticulous. Pernikahan ini juga ia ketahui sudah dirancang sejak jauh hari, kalau orang lain mengira mendadak ya karena mereka baru dapat undangan.
Acara pernikahan ini tentu saja sudah disiapkan sejak jauh-jauh hari. Bahkan William berganti jabatan.
Benda persegi di saku celana William bergetar menandai ada pesan yang masuk ruang obrolan. Lewat layarnya yang menyala ia bisa membaca pesan terbaru di grup lajang 2 taken 3. Sudut bibirnya terangkat sedikit tiap kali membuka ruang obrolan yang banyak non-faedahnya itu--yang seringnya walau bertolak dengan prinsip diri masih saja ia pedulikan satu dan lain waktu. Terlebih pada acara penting seperti hari ini. Ada pesan dari Brama, anggota taken dari grup itu bertanya keberadaan yang lain.
William sudah datang sejak sepuluh menit yang lalu. Ia mengenakan setelan jas berwarna biru muda pastel lengkap dengan dasi sewarna lebih gelap yang nantinya akan matching bersanding dengan Arvin, sang mempelai. Ia datang sebagai best man hari ini, sedang menunggu kawannya yang lain.
Bramasetya menyusul ke tempatnya setelah William menginfokan lokasinya—di bawah pohon jambu. Ia datang menggandeng perempuan—pacarnya tentu saja—Frista yang hari ini menggunakan dress brokat putih selutut. Tak lama setelahnya datang Doni, yang datang menggandeng perempuan imut bersanggul yang William sempat pangling untuk sesaat. Icha berdandan tanpa poni hari ini, juga mengenakan pakaian berwarna putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Caramel
General FictionPerkenalkan, dia adalah Nia, dokter muda, penyuka manis, yang sedang mengejar cita-cita, tetapi sering dijodoh-jodohkan mamanya. Ia berjabat tangan dengan William di sebuah jamuan makan malam. Pengusaha, penyuka sup asin, yang tak percaya pada cinta...