31 | Resigned

297 27 5
                                    


Not fine

________


Nia menggembungkan pipinya dengan sepenuh udara lalu menghembuskannya cepat melalui bibirnya yang mengecil. Ia mendekatkan kepalanya. Kedua matanya sedang terfokus pada jarak dekat. Pada dua benda kasat mata. Sebuah lubang jarum dan ujung benang.

Setelah berhasil memasukkan jarum pada benang (atau benang pada jarum?) ia menggunting helai itu sepanjang telapak tangan. Ia lantas mengikat ujung belakangnya agar jarum tak terlepas lagi. Tangannya lalu menyiapkan skrub hijau di pangkuannya yang warnanya telah memudar. Sebenarnya, ia tak begitu perlu melakukan ini: menjahit lubang kecil yang menganga di ketiak seragamnya. Alasannya sederhana, ia sudah menyerahkan surat pengunduran dirinya di rumah sakit. Yang artinya ia tidak butuh lama lagi ia menggunakan seragam itu. Toh bagian yang sobek itu juga berada di lipatan tubuh, dan hanya sepanjang 2 cm, tidak terlalu terlihat. Selama ini juga selalu ia biarkan. Namun, ia sudah kehabisan cara.

Seharian ini ia sudah selesai mengganti tanamannya yang mati, menyikat kamar mandi, menata ulang isi lemari, memasak makan siang berupa ayam pop dan bakmi. Namun mentari masih saja tinggi. Barangkali tidak begitu buru-buru menutup kalender hari ini.

Ia tak begitu bisa belajar. Isi kepalanya tak perlu lama akan berlarian ke sana kemari kala tubuhnya terdiam. Ia tak begitu merasa nyaman jika ingatannya meluncur pada beberapa hari kala ia menghabiskan mie ayam dengan pemuda berjas abu. Mungkin sebab itu ia tak begitu berselera menghabiskan masakannya sendiri siang tadi.

Seminggu telah berusaha menjalani statusnya yang kembali seorang diri. Merelakan seperti dua sel yang pada akhirnya membelah, awalnya memang sulit untuk memisahkan William dari pikiran di kepalanya, juga perasaan di hatinya. Namun, Nia yakin bukan tidak bisa. Sebelum bertemu pria itu, Nia adalah seseorang yang utuh. Ia tidak ingin kehilangan dirinya seperti ini.

Nia menghapus nomor William. Mengarchive pesan-pesan pria itu dari inboxnya. Manahan diri untuk mengungkit segala cerita yang pernah ada. Ia sudah mengganti latar belakangnya dengan foto kue.

Gerimis telah datang kala ia menyelesaikan jahitan kecilnya. Tidak begitu rapi, Nia tahu, tetapi setidaknya sudah proper. Dan susah melakukan sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Walau semrawut tetap ia rasakan tak begitu memudar setelah delapan hari.

Nia memutuskan berdiri di balkon. Kali ini rintik datang beriringan dengan angin yang semilir, menerpakan dingin dan basah itu di wajahnya. Ia menghela nafasnya panjang-panjang. Perempuan itu ingin menghapus semua "andaikan" yang menghampiri kepalanya setiap kali mengingatnya.

Andai waktu itu ia berani mengatakan apa yang ada di pikirannya, dibandingkan dengan membuat-buat alasan, apakah hari ini akan berbeda? Andai saja ia berkata, ia tak ingin berpisah, apakah segalanya akan berubah? Andai kata, ia tak berjalan pada hubungan yang ia rasa too good to be true ini, apakah ia akan menyesal seperti hari ini?

Gemuruh meraung, memeras gulung-gulung awan kelabu. Meluruhkan hujan yang lebih deras. Nia masih berdiri di pinggir terasnya. Ia juga sedang melepaskan hujannya sendiri. Ia juga ingin bebas. Kali ini, ia harap, ini adalah saat terakhirnya merasakan hatinya yang resah.

"Beli apaan tuh?"

Nia belum langsung menjawab pertanyaan Devina. Tangannya masih berusaha membuka kotak paket yang datang sejak Rabu lalu, baru sempat ia buka hari ini di kamar hotel sebab ia berkali-kali lupa.

"Littmann baru? Ngapain belii?" Perempuan yang sedang mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk itu berkomentar ketika mengetahui apa yang dibeli Nia.

Salted CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang