5 | Sense

611 47 43
                                        


The Shift

_______________


"Hmmm, boleh juga tu cowok."

"Hei, kok nggak masuk?" Tangan Lala menutup mulutnya yang kemudian menguap lebar. Tidak menutup-nutupi sisa tidur siangnya, ia menyambut Nia yang sedang bersandar di mobilnya. "Udah lama?"

"Barusan."

"Masuk sini, panas tahu di luar."

Sore itu Nia bertamu ke rumah Lala. Tepatnya rumah baru Lala di Pasar Rebo. Ia datang sore hari setelah agenda siangnya berlangsung: menemani Devina nyalon dan membeli kado tambahan.

Alamat baru Lala tidak sulit, bisa dilacak lewat google maps tanpa perlu kesasar, walaupun memang sedikit berkelok memasuki daerah pemukiman. Saat baru sampai sepuluh menit lalu ia sengaja tidak membunyikan bel atau menelpon Lala. Matanya sibuk mengamati area perumahan yang tampaknya cukup asri ini.

Jalanan di depan rumahnya beraspal lebar, masih cukup untuk bersisian dua jalur mobil. Ada sedepa trotoar yang pavingnya sudah pudar dan tidak terlalu rapi, ditambah dengan pohon-pohon besar Flamboyan yang menjarah lebar area berjalan kaki. Akan tetapi setidaknya, suasana di depan rumah Lala terasa teduh. Nia berandai-andai apabila ia bertamu pada awal musim penghujan, maka atmosfirnya akan lebih romantis dengan bunga-bunga merah merekah di antara hijau rimbun.

Fasad atau bagian rumah ini terasa masih raw. Belum ada teras atau taman yang ditata. Rumah ini memang dibeli second oleh Arvin. Akan tetapi, Nia membayangkan bagaimana pria itu akan merenovasi sesuai keinginan nyonya rumah. Teras, taman kecil, kolam ikan atau air mancur. Terbayang akan seperti apa rumah menjadi gambaran impian Lala yang pernah ia ceritakan.

"Sore, Na." Arvin menyapa baru muncul dari balik tirai (jangan dibayangkan seperti kuis permainan hadiah).

"Baru bangun tidur juga, Pak? Yah, ganggu dong gue."

"Apasih, enggak." Arvin terkekeh. Ia juga tampak lain dengan rambut yang masih acak-acakan dan kaus putih polos yang kini bercorak kekusutan di punggungnya. Lain sebab selama Nia pernah bertemu Arvin, lelaki itu terlihat well dressed. Masih terlihat menarik seperti bagaimana dulu Nia menemui pria itu. Walau sepertinya sekarang terlihat lebih... well, relaxed?

"Apa nih?" Arvin menerima sekotak kardus dari Nia dengan tanda tanya yang tergambar di wajahnya.

"Wedding gift. Sama satu lagi, bentar." Setelah beban di tangannya berpindah, Nia terburu berlari kecil keluar menuju mobilnya, mengambil satu lagi paper bag yang ia siapkan last minute.

"And, welcome home!" Giliran ia menyerahkan kado yang lebih ringan itu pada Lala yang sudah duduk di sofa. Ia sengaja membeli dua benda berbeda untuk merayakan dua hal juga, pernikahan dan juga rumah baru mereka.

"Repot banget sih? Ini yang bikin lo nggak ke sini-sini?"

Sudah dari pekan lalu Lala mengundang Nia untuk main ke rumahnya. Namun, memang Nia yang masih mengulur waktu. Ia penasaran sejak Lala bercerita mengenai proses pindahannya. Tapi dia juga tahu--you should not that fast visiting your newly-weed friends house.

"Hehe, ya sorry. Jadwal gue rada ck," ujar Nia sembari mengibaskan tangannya di garis lehernya.

Bukan hanya mencekik, namun sejak dr. Sofi pindah ke rumah sakit swasta, dan dr. Feni di-rolling ke poli, jadwal jaga di IGD seakan sedang mengubah Nia menjadi zombie. Paling sering hanya tiga dokter sekali shift, itu pun dengan probabilitas hampir 0.9 bahwa seorang akan dipanggil untuk menggantikan visite di ranap atau menjadi as.op pada emergency surgery. Ia pernah masuk dari jam 2 siang sampai jam 9 pagi. Tidak terima overtime tapi bisa sampai double shift. Dan di IGD paling jarang bisa mempertahankan mahasiswa koas atau residen, karena di rumah sakit ini mereka lebih sering berada di stase departemennya daripada bagian umum. Jumlah mahasiswa yang koas dan residen tidak sebanyak kebutuhan riil di lapangan.

Salted CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang