Two bites at the Cherry
___________________
Tok.. tok... tok...
Sayup-sayup William mendengar suara ketukan di pintu kamarnya, yang mau tak mau gangguan kecil itu membuat kedua matanya terbuka. Ia mengerjap pelan. Mimpi-mimpi yang barusan ia lihat mengaburkan dunianya.
Tok tok tok! kali ini lebih keras dan lebih bar-bar. William mengernyit. Tidak mungkin Bi Indah membangunkannya dengan cara seperti itu. William bergerak memiringkan tubuhnya. Malas. Di luar masih tampak gelap, ia lelah.
Tok tok tok! "Heh bangun lo."
Pria itu mendengar suara tak asing, berusaha mencocokkan dengan direktori nada yang biasa ia dengar. Bang Asa? Sepertinya ia menemukan siapa pemiliknya.
Pintu kamarnya terketuk lagi. Dengan langkah terseret ia bangkit dari kasur dan berjalan menuju pintu. Sedikit terhuyung sebab kepalanya terasa berdenyut kala ia bangun. Ternyata terkunci, pantas saja pintunya seakan digedor. Jika tidak, siapapun kawannya tidak akan tahu malu dan langsung menghambur masuk.
William membuka pintu. Yang ia sebut Bang Asa berdiri di depannya sudah wangi, sudah rapi, sudah tampan seperti biasa. Terlihat Bi Indah yang sudah berjalan pergi—yang barangkali mengantar tamunya ini sampai di depan pintu. Sohibnya itu mengangkat alisnya tinggi, mengamatinya dari ujung kepala hingga kaki.
"Tum—ehem." Tenggorokannya kering sekali terasa. "Kok dah dateng pagi-pagi?" William menguap lagi. Sedikit sambil menahan nyeri sebab bibirnya kering.
Arvin atau biasa dipanggil Asa oleh sahabat dekatnya ini berdecih sebelum menyinyir, "Nyadar dulu sebelum ngomong. Ini tuh hampir maghrib!"
William memandang sekeliling rumah, tampak lampu-lampu telah dinyalakan. Langit kemerahan tampak dari jendela dan bukan di sisi timur. Arvin menariknya dari disorientasi waktu sesaatnya.
"Ohh.."
William berjalan menuju meja tengah, mengambil segelas air putih dan meneguknya cepat. Badannya terasa panas, tetapi ia bisa tahu itu bukan sebab ia tidur seharian atau tak makan seharian, tetapi perkara malam kemarin.
"Tumben dateng pertama." Laki-laki itu mengisi ulang gelasnya dan duduk di kursi makan. Tak perlu susah-susah memersilakan sebab tamunya akan duduk di mana pun sesuka hatinya. Benar kan, Arvin kemudian menghempaskan diri di sofa. Menganggap rumah sendiri seperti biasa.
William masih ingat ada acara yang malam ini akan berlangsung di rumahnya. Seringnya, pada acara yang diadakan di rumahnya, Bram adalah yang datang pertama. Ia telah menjadi murid paling rajin kalau urusan traktir mentraktir. Ralat, dalam urusan ditraktir. Arvin datang tepat waktu, sesuai dengan waktu yang ditentukan. Itulah sebabnya William heran Arvin sudah nongol satu jam sebelumnya.
"Gue dari depok. Takut macet ternyata lancar."
Jawaban itu disambut oleh oh rendah William setelah menghabiskan dua gelas. Kepalanya masih nyut-nyutan, tetapi sudah terasa lebih baik.
Depok berarti dari rumah mertua Arvin. Tiba-tiba William ingin bertanya soal Aldi tetapi urung sebab ingatan kedua yang muncul adalah Anya. Kemarahannya telah ia redakan, tetapi ada yang masih mengganggu di benaknya.
"Lo kenapa sih? Kata bi Indah lo nggak keluar kamar dari pagi?"
"Gue ngantuk," jawab William tanpa berpikir panjang.
"Bukannya kemarin kata lo nginep di rumah eyang lo?"
William baru ingat lagi. Ia berdiri dan berjalan menuju kamarnya, mencari ponselnya di kasur. Ketika mendapati benda itu masih menyala walau dengan baterai yang sudah hampir tamat, ia segera mencari kontak Pak Rahmat, driver panggilannya apabila ia membutuhkan. Menekan dial supaya tersambung dengan pemilik nama. Sambil menunggu nada dering, tangannya mengambil celana yang terletak begitu saja di lantai kamar. Meniti saku di mana kunci mobilnya berada.
![](https://img.wattpad.com/cover/267766126-288-k733468.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Caramel
Ficção GeralPerkenalkan, dia adalah Nia, dokter muda, penyuka manis, yang sedang mengejar cita-cita, tetapi sering dijodoh-jodohkan mamanya. Ia berjabat tangan dengan William di sebuah jamuan makan malam. Pengusaha, penyuka sup asin, yang tak percaya pada cinta...