13 | Worth a shot

276 29 2
                                    

The Heart Skips a Beat

___________________

"Dok, pasbar 3 ya."

Nia baru sesaat menginjakkan kakinya di rumah sakit dan sudah ada pasien baru yang menunggu untuk diperiksa. Ia bahkan belum sempat menyapa dokter lain.

"dr Desta mana?"

"Sudah datang tapi sepertinya tadi langsung dipanggil ke ranap." Wahyu, seorang perawat yang bertugas malam itu menjelaskan. dr Anggi, kawan seangkatannya datang tak lama dan langsung menangani pasien juga.

Dirinya mengecek seorang bapak paruh baya yang masuk sebab keracunan. Ia menanyakan anamnesa sebelum dilarikan ke rumah sakit. Sudah muntah lebih dari 5 kali dan diare cair. Perkiraan sebabnya tidak sengaja meminum air dari botol bekas wadah pestisida walaupun sudah dicuci. Dokter muda itu memeriksa vital sign sambil menanyakan apakah terjadi kram perut dan pandangan kabur.

"Pesankan RL sama Atropin ke farmasi. Jika ada sekalian pralidoksim," ujarnya kepada perawat setelah berkonsultasi dengan DPJP.

"Baik, dok."

Tangan bapak tua itu masih tremor dengan takikardi di 119 bpm. Tidak ada sesak, meski demikian saat ini suhu tubuhnya sedikit di atas rentang normal.

Pasien itu pada akhirnya tidak bermalam di IGD. Nia menawarkan untuk dipindah ke rawat inap sebab masih muntah lagi bahkan setelah disuntuk antiracun dan dilakukan bilas lambung setelah ada acc dari DPJP. Kebetulan malam ini adalah dr. Handoyo, dokter yang nggak killer sehingga sedikit meringankan kapasitas mental Nia dalam menghadapi pekerjaan.

Setelah menangani pasien dirinya tidak sempat kembali ke mejanya sebab ada pasien kecelakaan masuk. Ada 13 bed di IGD dan hingga pukul 9 malam sudah 8 yang terisi. Mungkin malam ini adalah malam sibuknya. Ia sedikit menyesal siang tadi hanya sempat tertidur sebentar.

"Des, gantian bentar ya?" ujarnya sambil merenggangkan tangan.

Desta sudah kembali setelah bergelut dengan tugas mendadak dari dr. Widya untuk mengecek salah tiga dari pasien rawat inapnya. Nia meminta bergiliran jaga untuk sebentar meluruskan pinggungnya di kamar jaga. Biasanya mereka juga tidak akan melek semalaman—kalau tidak mendesak. Ada waktu untuk istirahat bila bisa bergantian dengan dokter lain.

"Oke-oke."

Sudah sembilan pasien yang Nia sendiri tangani hingga hampir tengah malam. Ia butuh sedikit duduk. Kapan hari ia pernah sendirian menangani 25 pasien satu kali jaga. Ia cukup bersyukur pasien datang rata-rata masih triase kuning dan hijau. Biasanya untuk IGD ICU dan pasien triase merah akan dipegang dokter residen yang ruangannya berbeda dengannya.

Nia menyempatkan diri melihat ponselnya, ada beberapa pemberitahuan pesan yang masuk. Ia melihat satu nama yang membuatnya tertegun. William. Pria itu mengirimkan pesan, mengajaknya bertemu.

Nia membenamkan wajahnya ke bantal. Ia malu menghadapi William. Sudah seminggu berlalu tetapi ingatan mengenai pertemuannya di Singapura masih jelas kala menghampir. Ia tahu itu memang kebetulan tetapi kini timbul rasa penyesalan telah mengajak pria itu bertemu dengan ayahnya sebab suasana yang kurang nyaman. Otaknya memang terbiasa untuk memutuskan sesuatu dengan cepat. Namun efek dari keputusan itu selalu hadir di akhir, bukan?

Sejujurnya ia sudah tidak tahu lagi akan seperti apa ia dengan William. Lari kah? Jalan santai? Opsi kucing-kucingan tidak lagi masuk ke daftar permainan sebab ia sudah terlanjur muncul di arena. Kemana yang sedang ia tuju? Jemarinya menggantung ragu mengambang di depan layar.

Sebagai dokter walau belum begitu lama ia belajar bahwa setiap jawaban iya dan tidak bisa membawamu pada hal yang sangat berbeda. Seperti beberapa hari lalu saat ia mengasisteni dokter konselor menangani pasien stroke haemoragic. Ketiadaan "Ya" dalam inform concent dari keluarga pasien membuat pasien itu akhirnya berakhir di ranjang IGD. Tidak ke ICU, tidak juga ke rumah. Ia pulang ke tempat yang lebih jauh lagi.

Salted CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang