The Sun Still Shines
_________________
Penyu, ikan warna-warni, terumbu karang beraneka bentuk, birunya laut, dan air dingin yang menenggelamkan seluruh badannya. Nia membiarkan tubuhnya kembali ke permukaan setelah menghabiskan waktu berdansa dengan para pemilik insang. Ia melepas selang nafasnya untuk menghirup udara yang berada tipis di atas lautan yang beraroma asin. Setidaknya, langit hari ini terlihat begitu biru dan ia begitu bahagia. Rasanya tubuhnya kembali lebih ringan.
Setelah sedikit perdebatan yang membulat, akhirnya tiga sekawan itu memutuskan Bali sebagai destinasi plesiran mereka. Selama enam hari mereka membuat rencana tinggal di pulau itu. Dengan sengaja, tidak mengisikan banyak agenda setiap waktunya. Memberi kelonggaran untuk menikmati setiap perjalanan dengan tenang tanpa terburu. Devina memang sudah tidak bekerja di manapun, untuk sekarang. Nia, sebab sudah resign dari pekerjaan full time pun hanya sesekali berjaga. Ia sudah mengatur jadwalnya. Sedang Jean, sebab ia masih punya ikatan kerja dengan rumah sakit baru, bergabung di hari ketiga setelah bertukar dengan sejawatnya untuk mengosongkan kalendernya dari kerja.
Rico hendak menyusul Devina. Tetapi perempuannya dengan tegas menolak. Because it's a girl time. Meski dua yang lain mengizinkan saja sebenarnya, ia masih bersikeras kalau di liburan kali ini harus tanpa cowok. Biar lebih ringan, katanya.
Sebelum tengah hari mereka sudah kembali ke penginapan. Bergegas mengepak barang bawaan untuk pindah akomodasi. Ketika pertama mendarat, selama 3 malam, Devina dan Nia menginap di daerah Ubud. Berkeliling—cafe hoping—setelah Nia menjajal kelas yoga. Setelah Jean bergabung, mereka menginap di air bnb yang ada di pulau kecil sebelah timur Bali ini. Saatnya sekarang mereka menginap di tempat yang lebih ramai—lebih dekat dengan bandara untuk pulang. Minggu pagi, satu-satunya itinerary yang tersisa adalah mengunjungi Sunday Market di Changgu.
"Hmmm. Jusnya..."
"Kenapa? Nggak enak?"
Nia mengecap-ngecap lidahnya. Rasanya lebih enak jus buatan mamanya. "Mayan sih, but overpriced."
"Yeu."
"Hmm, sebenernya gue tahu caranya biar jadi murah." Jean membuka suara.
"Apa? Bikin sendiri?" Devina memotong langsung.
"Bukaaan. Caranya, bayar pakai dolar. Murah tuh jadinya, cuma three dalla, fo dalla."
"Njiiiir."
Nia ngakak. Perjalanan ini memang memotong angka di tabungan Nia. Tetapi mama bilang, kegiatan seperti ini tidak bisa diulang lagi suatu hari hanya dengan adanya uang. Sebab waktu dan kesempatan tidak selalu bisa datang cuma-cuma. Kapan lagi, Devina tidak sibuk dan tidak sedang pacaran?
"Ada yang pengen dibeli lagi nggak nih?" Jean bertanya.
Tidak ada agenda khusus berbelanja oleh-oleh, sebab dari mula, di beberapa tempat yang dikunjungi, apabila menemukan benda yang menarik, mereka akan membeli beberapa untuk dibawa pulang.
Nia sudah membawa pulang gantungan tas barunya. Sebuah pahatan boneka kayu. Ia juga membeli gelang baru saat berkunjung di sebuah toko seni di Ubud. Mama tidak berpesan untuk dibelikan apa-apa. Tapi tadi pagi saat berkeliling ia sudah mengantungi beberapa sabun bali dan juga pewangi.
"Males ih panas."
"Ihh, ini lucu deh."
"Mana coba?"
Devina itu menunjukkan potret di ponselnya. Bagian paling menyenangkan dari trip ini memang barangkali memang snorkeling kemarin.
"Eh sumpah ya, tapi gue jadi pengen nabung banget deh buat ke raja ampat. Penasaran banget kenapa sampai disebut sekeping surga jatuh ke bumi. Kayak, sebagus apa sih?" Raja ampat memang masuk list tujuan, tetapi mempertimbangkan waktu dan juga biaya, nama itu harus mereka coret untuk sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Caramel
Fiksi UmumPerkenalkan, dia adalah Nia, dokter muda, penyuka manis, yang sedang mengejar cita-cita, tetapi sering dijodoh-jodohkan mamanya. Ia berjabat tangan dengan William di sebuah jamuan makan malam. Pengusaha, penyuka sup asin, yang tak percaya pada cinta...