3 | Preface

693 68 22
                                    


The Name

________________


Beberapa orang bilang memori mengenai sesuatu mudah terbangkitkan melalui perantara yang bisa ditangkap oleh alat indra dibanding hanya mengingat-ngingat. Bisa jadi lewat pandangan, aroma, suara, sentuhan, impresi perasaan dan sebagainya. Yang jelas, ketika memori hanya selewat wujud tanpa intensitas, bertemu ulang adalah hal yang paling dekat dapat menarik memori itu ke permukaan.

Seperti William yang kini makin yakin—setelah hanya menyipitkan mata berkali-kali menerka lewat pandangan—mengenai perempuan itu. Bersamaan dengan wangi parfum powdery yang mampir di inderanya, dan dua ringtone intro piano ketika ponsel milik puannya berdering, William kembali bertemu dengannya.

Para pria yang baru saja melakukan pentas memainkan musik sebagai salah satu pengisi acara pesta perkawinan ini sedang berdiri di dekat altar. Bergerumul di bawah bayang ketapang kencana. Langit bulan Maret mulai memperkenalkan sepinya sabutan awan yang jadi penghalang terik surya. Meningkatkan kesempatan munculnya titik peluh sebagai bagian dari pertahanan tubuh.

Rangkaian pesta pernikahan itu secara formal telah usai. Rombongan tamu undangan bergantian meninggalkan arena. Menyisakan rekan dan keluarga yang masih menginginkan untuk mengambil kenangan tercetak. Mereka hendak berfoto dengan mempelai. Tetapi Arvin, si pengantin pria masih sibuk touch up karena dahi dan rambutnya basah oleh keringat sehabis ikutan manggung tadi. Yah, pesta outdoor memang tidak bisa pakai air conditioner.

Frista mengeluarkan kipas angin mini dari dalam tasnya yang tak lama berpindah ke tangan Brama. Untuk digunakan berdua tentu saja. Icha mengeluarkan tisu, membagikannya kepada doni. William sendiri hanya  berdiri mengamati jajaran pohon pucuk merah di pinggiran taman. Ia baru sekali ke taman ini.

"Siapa, Rat?"

Rat? William menoleh.

"Temen gue, nanyain pasien tadi pagi."

William hanya sempat melanjutkan kata tanya dalam benaknya mengapa gadis itu dipanggil dengan nama yang lain oleh Aldila sekembalinya dari menerima panggilan telepon. Padahal seingatnya, bukan dengan nama itu yang ia memperkenalkan diri kemarin. William jelas mengingat Nia. Apa ini kembarannya?

"Lo nggak ada acara lempar bunga gitu, Al? Biar ada yang dapet wedding luck to join you on next level." Zafran terdengar ambigu antara ia berbasa-basi atau memang betulan ingin menyusul.

"Sabar, Bang. Doni dulu." Brama menyahut, yang hanya mendapat decah ketidaksetujuan dari yang punya nama.

"Frista udah pengin tahu, Bang, dari mukanya waDAAAW!" Tidak perlu lama buat Doni mendapat cubitan dari Frista karena mereka berdiri berdekatan. "Iya iya, enggak. Gue tahu, Fris."

Doni, dan kami di lingkup pertemanan ini, tahu kalau Brama dan Frista bukan pasangan yang ngebet dengan yang namanya pernikahan. Well, they both known of set personal balancing life achievements. William sendiri bingung bagaimana mengartikannya tetapi keduanya punya hal-hal yang ingin dicapai dan goal yang diset pribadi oleh mereka. Soal kerjaan, soal hubungan. Bagi mereka pernikahan toh bukan race yang mana siapa-siapa yang menikah duluan jadi bernilai plus. They'll marry, at when they want, at where they want. Sesuatu yang sebenarnya, lebih membuat iri William dibanding yang lain.

But life happens in misterious way.

William percaya akan hal itu juga. Satu yang kadang membuatnya sering tidak menolak keinginan orang lain. Keinginan orang tuanya misalnya. Karena setiap jalan, kadang disertai petunjuk arah, kadang pun tidak. Masing-masing orang bisa saja memiliki keduanya sama banyak, atau satu lebih banyak dari yang lain.

Salted CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang