Be Your.....
_______________________
William tak bisa benar-benar tertidur. Selepas mengantar Nia pulang ia menuju rumahnya tetapi di kamar ia hanya diam memandangi langit-langit. Pikirannya sedang hidup dan belum mau lelap.
Anetta selama ini mengajari jika ada hal yang tak ia senangi ia cukup lari dan melakukan hal lain. Hidupnya tidak akan mati begitu saja kala berhenti bekerja—ya memang. Barangkali itulah priviledge-nya.
Sedangkan Anya membuatnya merenungi dengan cara yang lain. Ia tahu, ia tidak menyukai pekerjaannya dan tidak pernah berniat menyukai pekerjaan ini. Ia masih ingin bermain piano. Ia ingin Leo segera masuk perusahaan, ia juga sempat berpikir untuk resign lalu tinggal dengan omanya di Bogor—setelah papinya puas dengan pekerjaannya. Namun benarkah demikian caranya?
Sebelum matahari terbit William sudah mandi dan keluar kamar. Ia berpesan kepada Bi Indah untuk tidak membuatkannya sarapan untuknya. Kemarin ia sempat bertanya jadwal masuk perempuan itu. Anya bilang ia jaga siang. Berarti pagi dia bisa menyempatkan untuk sarapan bersama sebelum kembali ke Surabaya.
William mendongak memandangi gedung-gedung tinggi dengan cat yang berbeda. Di salah satu gedung itu adalah tempat Anya tinggal. Perempuan itu tak menyebut lantai berapa. Di bawah sini, William mengira-ngira pemandangan seperti apa yang Anya lihat dari jendela kamarnya.
Sudah hampir setengah jam ia menunggu tetapi Anya belum membalas pesannya. Ia tidak ingin menelfon, takut mengganggu istirahatnya. Toh pesannya sudah terchecklist dua.
Hi, maaf banget, tapi aku sakit kepala. Maaf nggak bisa nemenin sarapan.
Balasan itu akhirnya datang. William membacanya. Pria itu tertegun sejenak, sebelum memikirkan rencana lain. Ia membatalkan reservasinya di restoran dan memilih melajukan kendaraan. Sepertinya ia butuh membeli makanan take away yang mudah.
Setelah berkeliling membeli bubur ayam, lontong sayur, dan soto betawi, hanya makanan itu yang ada pagi-pagi begini. Pria itu mengarahkan mobilnya kembali ke apartemen Anya. Di resepsionis dia menanyakan alamat kamar Anya tetapi sepertinya penjaga itu tidak begitu mengenali penghuni apartemen.
"Dia dokter."
Resepsionis itu sedikit tersenyum. "Di sini hampir semuanya dokter, mungkin coba tanyakan dulu kepada kakaknya."
William tidak jadi menitipkan sarapan. Ia menulis pesan kepada Anya mengabarkan bahwa ia membawakan sarapan, tetapi tidak tahu harus diantar kemana. Tak lama Anya membalas menyuruhnya menunggu di bawah.
Anya terlihat lebih pucat dari semalam. Ia turun dengan menganakan pakaian tidurnya. Saat bertemu, Anya mempersilakannya untuk naik.
Pertama kali memasuki apartemen Anya, William disambut oleh aroma lembut musk yang bercampur dengan bebungaan. Ada baju semalam yang masih tergantung di dekat pintu.
"Maaf berantakan," ujar Anya lirih. Sebenarnya tak begitu berantakan. Anya hanya punya selera yang colorful pada perabotan di kamarnya.
Selain kasur dan dindingnya yang berwarna putih, hampir seluruh isinya memiliki warna yang beragam. Ada rak buku berwarna kayu beraksen merah di samping nakas yang terhubung dengan meja belajar. Kursi berwarna kuning, meja dengan latar putih berkaki hijau, karpet bermotif kartun serta bean bag hijau tosca. Masih ada hiasan dinding yang belum semua bisa William cermati. Sekilas, ruangan terlihat warna warni tetapi tetap rapi pada tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Caramel
Ficción GeneralPerkenalkan, dia adalah Nia, dokter muda, penyuka manis, yang sedang mengejar cita-cita, tetapi sering dijodoh-jodohkan mamanya. Ia berjabat tangan dengan William di sebuah jamuan makan malam. Pengusaha, penyuka sup asin, yang tak percaya pada cinta...