15 | Charmed

433 44 9
                                    


Out of sync

____________


Nia terbangun mendengar bunyi jam digital di nakasnya. Matanya memberi celah sebaris yang ia bisa ia gunakan untuk menangkap cahaya mengecek waktu. Masih pukul 6 pagi, ia mematikan dering itu secepatnya. Hari ini ia libur, ia tak ingin membuka mata lebar-lebar yang bisa mengusir kantuknya, masih memilih untuk melanjutkan tidurnya.

Baru pada pukul 9 lebih 38 menit ia bangun dengan sendirinya. Matanya terbuka dengan lebih ikhlas untuk menangkap cahaya. Kali ini ia sudah merasa tidurnya cukup, badannya terasa lebih segar. Nia menarik nafas panjang merenggangkan tubuhnya.

Mata Nia menangkap dress putih dan cardigannya yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Ingatannya melayang pada hari kemarin. Semalam, setelah makan malam laki-laki itu tidak langsung mengantarnya pulang.

Setelah menyempatkan untuk tidur siang Nia baru bisa dengan teliti mengamati. Dari depan rumah William terlihat bergaya klasik khas perpaduan Eropa dan Indonesia yang berkembang di jaman generasi X. Ketika masuk Nia baru menyadari perbedaannya. Dibandingkan menggunakan ornamen interior seni yang detil, bangunan itu banyak diisi dengan gaya semi modern. Tidak serba hitam putih tetapi dengan lantai marmer kekuningan, dan furniture yang dipadukan antara kayu dan bahan modern menjadikan rumahnya terkesan lebih hangat.

Nia tahu, ada grand piano besar yang berada di ruang tengah, di belakang televisi. Sempat ia lewati sekilas kala memasuki rumah. Di belakang sini, di dekat pintu dapur, ada keyboard lebih kecil yang terpasang. William menancapkan kabelnya.

Pria itu mempersilakan Nia untuk duduk bersantai dulu. Nia mengambil tempat di sudut sofa yang menghadap kolam. Udara malam terasa lembut menerpa wajahnya, dari sana ia juga bisa menikmati kerlip bintang walau tak begitu terlihat sebab langit yang memerah terkena polusi cahaya ibu kota. Tak lama, alunan nada keluar dari keyboard. William menyanyikan salah satu lagu milik Sara Bareilles yang pernah ia pakai sebagai nada dering. Andai ponselnya masih menyala, ia ingin merekam suara itu.

William duduk di sampingnya tak lama kemudian. Ia bercerita kalau rumah ini adalah rumah masa kecilnya. Mami papinya membeli rumah di daerah PIK dan tinggal di sana. Saat ini kakaknya masih bersama suami di Singapura, sehingga hanya ia sendiri apabila ke Jakarta yang meninggali rumah ini. Ia memperkenalkan ada Bi Indah sama suaminya yang merawat dan membersihkan setiap hari. Dulu, apabila berkumpul, Arvin dan teman-temannya sangat suka main ke rumah. Lala juga pernah mampir ke rumah itu. Saat diantar pulang, Nia baru sadar jika jarak antara rumah William dan apartemennya begitu dekat. Tidak sampai 10 menit.

Nia mendudukkan dirinya. Ia mengambil ponselnya yang telah mati dan menyambungkan pada pengisi daya. Matanya kemudian teralih memandangi paperbag yang tergeletak begitu saja di lantai. Jemarinya terulur mengambilnya bingkisan. Jiji terlihat sangat lucu, ia mengeluarkan dari kotak dan meletakkannya di antara tanaman dan jam digitalnya. Berjejer dengan Totoro barunya. Sedang Ponyo, boneka kecil itu ia putuskan untuk tergantung di tas yang biasa ia bawa ke rumah sakit. Nia belum tahu harus membalas apa atas oleh-oleh ini.

Ia menyalakan ponselnya. Sembari menunggu, tangannya mengeluarkan kartu nama yang sudah ia masukkan sembarang ke dalam tas semalam. Acting Branch Director. Nia membaca alamat kantor William di Surabaya. Ponselnya bergetar beberapa kali sebab pesan masuk bertubi-tubi—rapelan sejak kemarin. Ada obrolan dari Devina dan Jean yang meributkan jadwal yang tidak masuk akal—terlalu banyak shift malam. Kemudian pesan dari William yang mengirimkan puluhan foto—hasil dari pilihan Nia sendiri. Sedikit, sedikiit sekali, timbul rasa menyesal tidak mengirimkan foto pria itu. William tampak lain saat liburan dan mengenakan baju kasual. Touchable. Ia menggelengkan wajah cepat merasa geli dengan pikirannya sendiri.

Salted CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang