How Can I Love The Heartbreak
__________________________
Rintik hujan masih mengguyur sebagian besar wilayah Kota Pahlawan itu. Meski sudah tidak selebat sore tadi, William masih merasakan gerimis menetes di telapak tangannya saat ia bertolak pulang ke apartemen pukul 10 malam. Ia sengaja membuka jendela mobilnya sejenak untuk menghirup aroma basah dan dingin yang menyegarkan paru-paru. Ia tak sabar untuk mandi dan meluruhkan semua lelah yang masih melekat di badannya.
Setelah menerima laporan progresnya, Papi menginginkan peresmian EC dipercepat dua minggu. Memang masih memungkinkan, tetapi itu artinya William harus mendorong vendor dan stakeholder untuk tepat waktu sesuai deadline yang ditetapkan. Ia memang 'hanya' tinggal bekerja dengan cara memutuskan. Tetapi keputusannya tidak boleh melenceng menimbulkan kerugian. Satu hal yang meleset bisa berefek seperti kepak sayap kupu-kupu menimbulkan puting beliung. Pria itu mengusap belakang lehernya dengan telapak tangan yang dingin. Sensasi dingin itu menyenangkan. Ia menutup kembali jendelanya.
Masih belum terlelap. Seusai mandi dan merapikan sebagian rencana bisnisnya, William merebahkan diri di sofa. Papi belum memberi lampu hijau yang jelas untuk kelanjutan proposal bisnisnya tempo hari—masih akan diputuskan setelah peresmian EC. Namun ada tanda-tanda papi tertarik sebab beberapa kali mereka mengobrol melalui telepon untuk membicarakannya.
Tangannya merogoh kantung jas yang masih tersampir sembarangan di lengan sofa. Ada kotak bludru berwarna biru yang ia beli dari bulan lalu dari sebuah toko perhiasan. Pria itu menimangnya di telapak tangan. Benda itu sudah ia bawa dari Jakarta ke Surabaya, untuk suatu waktu yang ditentukan akan ia bawa kembali ke Jakarta. Lucu sekali, seakan apabila tak bersamanya, William takut benda itu hilang.
Tetapi, ia belum mengetahui kalau justru bukan kotak itu yang hilang.
Anya menjadi berjarak. Perempuan itu agak sulit dihubungi pasca kepulangannya terakhir kali. Sebulan ini, ia menjadi jarang bisa berbagi waktu dengannya. Ia lama tidak mendapat foto seperti biasa Anya mengirim lewat pesan. Mirror selfie di lift apartemen, atau selca di mobil mengenakan seragamnya, William merindukan gadis itu. Namun bahkan untuk bisa bicara lewat sambungan telepon pun butuh kesabaran. William jarang bisa tersambung video call dengan Anya.
Anya memang sibuk. William tahu hal itu. Sejak awal ia juga tak menuntut untuk selalu bisa menyediakan waktu di tengah jadwal jaga Anya yang tak pasti. Setiap awal bulan Anya mengirimi jadwal shiftnya tetapi itu pun bisa berubah apabila ia diminta ikut masuk ke ruang op, bertukar jaga dengan dokter lain, atau mengikuti kegiatan tambahan. Kegiatan tambahan inilah variabel bebas yang William tidak bisa menebak. Kadang Anya menjadi petugas kesehatan di even pertandingan olahraga, lalu tahu-tahu mengisi seminar kesehatan di sekolah atau balai desa. Perempuan itu dirasakannya selalu memiliki kegiatan di waktu yang terasa sempit ini.
William sedang cinta-cintanya. Mungkin sebab itu rindunya jadi terasa.
Ia hanya tak menyana. Kabar yang datang ketika ia bisa bertukar pesan dengan kekasihnya justru hal yang sama sekali tak pernah ia perkirakan. William tak mengerti bagaimana percakapan malam itu tiba-tiba berakhir pada berakhirnya hubungan mereka.
"Aku rasa kita emang waktunya mencukupi hubungan kita ini." Anya berkata pelan.
"Anya, kamu ngomong apa sih?"
William mengerutkan alisnya. Apa yang salah? Bahkan saat terakhir bertemu mereka tak sedang bertengkar. Selama menjalani hubungan ini William hampir tidak pernah bertengkar dengan Anya. Mereka berbagi tawa dan senyuman, bukan pertikaian. Lantas, beginikah kisahnya berjalan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Caramel
Fiksi UmumPerkenalkan, dia adalah Nia, dokter muda, penyuka manis, yang sedang mengejar cita-cita, tetapi sering dijodoh-jodohkan mamanya. Ia berjabat tangan dengan William di sebuah jamuan makan malam. Pengusaha, penyuka sup asin, yang tak percaya pada cinta...