27 | Springing

237 20 1
                                    

What's your reason?

_________________



Mereka mengambil penerbangan ke Singapura subuh di hari Minggu. William ke Jakarta sejak Sabtu pagi, tetapi Nia masih memiliki jadwal jaga pagi kemarin. Diantar Pak Rahmat, mereka sampai di bandara sebelum fajar benar-benar menyingsing.

"Kalau masih ngantuk tidur lagi aja." William menyampirkan selimut menutupi tubuh Nia. Mereka sudah memasuki pesawat, menunggu lepas landas. Nia menggeleng ringan. Ia tidak ingin tertidur.

Perempuan itu menatap William di sampingnya. Pria itu mengenakan jaket abu-abu pagi ini dengan rambut yang dibiarkan ikal, berponi hingga menutupi dahinya. Nia suka sekali melihatnya.

Nia memilih menyandarkan kepalanya di pundak William. Baru dua minggu William memanggilnya dengan sebutan baru, tetapi ia merasa seperti berhutang seumur hidup atas rasa sayang itu.

"What can I do for you?" bisiknya lirih tanpa memandang ke arah William.

"Hmmm?"

"Kamu melakukan banyak hal buat aku. Aku harus bayar pakai apa?"

Sesekali, Nia ingin mengunjungi William ke Surabaya. Tetapi tiap ia merencanakan itu, William mencegahnya. Biar dia saja yang ke Jakarta. Mungkin harusnya spontan saja? Nia jadi memikirkan caranya.

"Kamu cukup melakukan satu hal," William menjawab pertanyaannya.

"Apa?" Nia menoleh ke arahnya.

"Love me. And since you've done it, maka sudah lunas. Nggak ada yang perlu kamu bayar ke aku."

Mencintai William selalu semudah ini. Nia bahkan tidak perlu berusaha.

"Sunrise." William menunjuk ke arah jendela. Nia jadi memalingkan muka. Di jendela sampingnya tergambar pemandangan kemunculan matahari pagi dari balik awan. Semburat kemerahan berganti kekuningan menyebar dengan luas. Terlihat indah dan lama-lama terasa hangat. Cinta William pun, menurut Nia, juga serupa matahari pagi. Begitu lembut, begitu hangat.

Mereka tiba di negeri tetangga pukul 8 pagi. Setelah keluar dari bandara, William mengajak Nia mengunjungi kakaknya. Di sana, Anetta, Nia berkenalan, sudah menyiapkan sarapan siang untuk menyambutnya. Ia jadi sedikit merasa tak nyaman.

Namun Anetta seru. Mengutip kata William, perempuan itu sangat eksentrik. Rambutnya hitam kelam dipotong bergaya shaggy dengan poni tebal nyaris menutupi seluruh dahinya. Sepagi itu, dirinya juga sudah memoles bibir dengan warna terakota pekat. Anetta memiliki tato bergambar teratai di lengan kirinya. Anetta sendiri yang menunjukkan ke Nia.

Suaminya, kakak ipar William, adalah seorang pemuda yang terlihat berwibawa tetapi tidak menyerampak. Ia dewasa, terlihat rapi, dan bersih. Seperti yang biasa Nia jumpai di jajaran menteri dengan jabatan tinggi tetapi tidak korupsi. Sebenarnya Nia tidak tahu seperti apa wujud asli menteri, tetapi Leo, atau mereka menyilakan Nia untuk memanggil Leilei, mengingatkannya pada Tom Lembong yang lebih muda.

Kehidupan mereka terlihat sangat... chill. Anetta tidak marah waktu Kayla menumpahkan sarapannya dan sedikit tantrum, hanya berkata kepada Leo untuk membersihkan. Anetta move on dari insiden itu secepatnya, memilih melanjutkan obrolan.

Nia berpikir apakah suatu hari ia bisa membuat rumah tangga yang terlihat stress free seperti ini. Nia belum mau membayangkan lebih lanjut. Belum berani.

"Janjiannya jam berapa?"

"Jam setengah sebelas." Nia mengecek lingkaran penunjuk waktu di lengan kirinya. Sudah saatnya ia pamit dan bergegas. Anetta dan Leo juga ada kegiatan untuk bermain tenis.

Salted CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang