24 | It's Okay

217 21 0
                                    

You Don't Have to Stay Strong All The Time

____________________________________




William baru saja mengakhiri rapat yang molor melewati jam pulang kantor. Ia belum hendak pulang sebab ada beberapa hal yang perlu ia periksa. Ari memesankan makan malam untuk mereka dinikmati sebelum melanjutkan pekerjaan. William masih punya sedikit waktu senggang untuk mengecek ponselnya.

Ada pesan dari Arvin. Pria itu bertanya apakah Anya menghubunginya sore ini. William membalas singkat, mengabari bahwa perempuan itu sedang merayakan ulang tahun dengan mamanya. Tetapi jawaban Arvin justru lain. Sahabatnya itu menyatakan bahwa mama Anya justru sedang mencari anaknya.

Ponsel kerjanya bergetar, ada nomor baru yang mengiriminya pesan.

Halo, William. Ini saya, Mamanya Nia.

Apabila Nia menghubungi kamu, boleh kabari saya?

William tidak berpikir untuk membalas. JIka mamanya dan sahabatnya bahkan sedang mencari Anya, maka ia mengira masalahnya sedikit besar. Ia mengecek waktu, masih sempat untuknya mengejar penerbangan terakhir menuju Jakarta malam ini.

"Malam, Bos. Makanan sudah datang." Ari berkata santai sambil membawa bungkusan makanan di muka pintu..

"Ari, saya mau ke Jakarta sekarang. Saya jelaskan nanti."

"Hah, gimana?"

William tak membalas, ia tak punya banyak waktu. Pria itu bergegas langsung menuju bandara. Dirinya bahkan tidak mampir ke apartemen. Di perjalanan ke bandara ia berkali mencoba menghubungi nomor Anya tetapi nihil. Perempuan itu tidak bisa dihubungi, ponselnya mati.

Begitu mendarat di Jakarta, William segera mencari taksi menuju rumah Arvin. Dua sejoli pasutri itu sedang duduk di ruang tamu, masing-masing terlihat menunggu. Aldila terlihat cemas.

"Kata mamanya, mereka ada konflik dikit waktu makan malam bareng, dan dia langsung pergi. Mamanya nyusul ke apartemen tetapi tidak ada di sana. Dia juga nggak ngehubungin gue, gue nggak tahu dia di mana," Aldi menjelaskan.

"Kalau lapor polisi gimana?"

"Disebut hilang kalau sudah lebih dari 24 jam." Arvin berkata realistis.

"Hukum macam apa sih standarnya begitu? Keburu jauh kalau diculik, keburu kenapa-kenapa juga." William merasa frustasi. Ia tidak ingin membayangkan hal buruk, tetapi sekarang sudah lebih dari jam 11 dan keberadaan Anya masih tidak diketahui. Ia juga tidak punya nomor teman dekat Anya yang lain.

"Gue pinjem mobil lo, Bang."

"Mau kemana?"

"Mau ngecek ke rumah sakit."

William bertolak mengunjungi kedua rumah sakit tempat Anya bekerja. Tidak ada keberadaan perempuan itu. Ia menelpon Pak Rahmat, membangunkannya tengah malam untuk meminta alamat klinik tempat Anya sempat praktik. Tetapi di sana pun tidak ada. Anya seakan menghilang tanpa jejak.

William hendak menelpon Tante Shinta, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi sore tadi. Tetapi mengurungkan sebab itu bukan informasi yang penting untuk ia ketahui sekarang. Anya memang hendak izin kepada mamanya soal sekolah spesialis. Apa mereka berbeda pendapat? William menghela nafas. Buntu.

Lebih dari pukul satu pagi saat Arvin menelpon, mengabari Anya datang ke rumahnya. William segera melajukan mobilnya kembali.

Di sana ia melihat perempuannya. Anya duduk mengenakan masker dan kacamata berlensa bening. Ia masih menunduk bahkan saat William datang.

Salted CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang