It Feels Good
______________
Anya tidak tahu kalau ia akan mendengar confession hari ini. Ia hanya sedang merenung soal bagaimana pada akhirnya ia bisa berpikir jernih setelah mengesampingkan hatinya dan menyadari barangkali mereka telah tiba di persimpangan itu. Di usianya, ia tak lagi butuh pertemuan yang hanya akan menghabiskan energinya dengan sia-sia.
"Anya. Aku suka sama kamu."
William berkata dengan nada yang Nia tak pernah dengar. Bergetar lirih dengan matanya yang menatap Nia sungguh-sungguh.
"So let's do this, Anya. Let's do with me. This relationship."
Nia kesulitan menenangkan jantungnya. Iramanya terasa janggal, atau dirinya saja yang tak bisa memeriksa tubuhnya sendiri dengan benar.
William mendekat memendekkan jarak keduanya. Aroma pria itu menghampir di indra penciumannya. Nia tidak tahu mengapa ia tiba-tiba begitu menginginkan ini.
"May i?"
Nia mengeja persetujuan dengan nada rendah. Pria itu tersenyum.
The kiss happens so tender. Bibir pria itu menyentuh miliknya lembut. Satu tangan William menyapa punggungnya, satu lagi berada di belakang lehernya mendekatkan keduanya. Tangan Anya hanya bisa menumpu di lengan pria itu, menjaga agar dirinya tak jatuh oleh perasaan hangat yang muncul dari dadanya, menjalari raga membuatnya seakan mencair.
Bulir air matanya mengalir perlahan. Nia tak tahu sebabnya.
Pria itu seperti melingkupi dirinya secara utuh. Mungkin sebab jaketnya yang juga beraroma William yang berada di pundaknya, ia tak tahu. Namun ia tak keberatan. Tak pernah merasa terpaksa ada di dalam lingkup pria itu. Jika boleh, ia juga menginginkan berada di sana selama yang memungkinkan.
Entah berapa waktu mereka bersentuhan hingga pria itu membuat jarak. Nia bisa mengambil nafas dengan cepat, dirasakan detak jantungnya telah begitu dekat, seperti berdegub naik hingga ke lehernya. William menyentuhkan hidungnya di pipi kiri Nia. Jemarinya mendekat menghapus bekas basah di sana.
"Why are you crying?"
Nia menggeleng perlahan, ia belum menemukan jawaban. Ia memilih untuk menenggelamkan wajahnya di bahu pria itu. Maybe because suddenly it feels nice. It was just... so nice.
William memeluknya, sesekali mengambil nafas panjang kala hidungnya berada dekat di ceruk leher Nia.
"I really like your smell."
Nia seperti kehilangan penyangga. Kakinya terasa lemas. William sepertinya tahu, sebab ia tak melepaskan tangannya, benar menjaga tubuh Nia agar tetap bisa berdiri. Nia menggigit bibir. Sedikit bersyukur sebab saat ini ia tak bertatap muka dengan William. Pipinya terasa panas.
Tak lama William mengambil jarak. Ia menatap Nia dengan lurus. Nia merasa udara dingin di sekelilingnya tak lagi terasa. Bahkan saat ini ia merasa sedikit gerah.
Pria terlihat seksi sekali.
"Then, tell me how do you feel."
"I like it," cicit Nia pelan.
William memiringkan kepalanya. Nia baru menyadari sepertinya ia salah berkata kala pria itu mengerling. Harusnya I like you, kan?
"Mau lagi?"
Nia membelalakkan matanya. Ia melangkah mundur meski agak sedikit terhuyung.
Dirinya mungkin masih ingin merasakan kelembutan itu, tetapi ciuman laki-laki itu menguras 50% kewarasannya. Ia masih ingin jadi dokter bukan penghuni bangsal RSJ.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Caramel
Fiksi UmumPerkenalkan, dia adalah Nia, dokter muda, penyuka manis, yang sedang mengejar cita-cita, tetapi sering dijodoh-jodohkan mamanya. Ia berjabat tangan dengan William di sebuah jamuan makan malam. Pengusaha, penyuka sup asin, yang tak percaya pada cinta...