Reason
_____________
"Boss. Bangun. Ada tamu." Sayup-sayup suara Ari merambati indera pendengarannya. William mengerjap. Butuh beberapa detik untuk ia menyadari situasi. Ia masih berada di ruangan kantornya. Ada bayangan papi sedang duduk dengan tenang di sofa seberang. William membangunkan tubuhnya untuk duduk.
"Capek ya, Will?"
William mengernyit. Nada suara papinya bukan marah. Tetapi lebih pada, pertanyaan santai. Apa ia salah dengar? Biasanya, apa yang ia lakukan membuat papi tak suka.
"Gimana, Pi?" tanyanya kembali setelah menajamkan fokus. Papinya terlihat tersenyum, tetapi tidak membalas kata. "Kok tumben udah dateng. Bukannya rencananya besok pagi?" Setelah melewati fase linglung karena tidur di tengah maghrib, William bisa kembali berpikir.
"Iya, papi pengen lihat dulu."
"Mami juga ikut sekarang?"
Papi mengangguk-angguk. "Langsung ke hotel tapi mamimu. Malas ikut keliling." Papi meletakkan koran yang ia buka tapi tak begitu dibaca. "Kirain jam segini kamu sibuk. Ternyata di kantor."
Sekarang, pria di depannya lebih terasa sebagai papinya. Maksudnya di kantor adalah bahasa tidak tegas dari tidur di kantor. "Ma-" Padahal sudah dari subuh William wira-wiri ke sana kemari untuk acara besok. Ia juga yang turun langsung memastikan setiap lini area distribusi siap. Ia bahkan baru makan siang pukul 3 sore, dan setelahnya kantuknya datang. Kepalanya nyeri akibat kurang tidur beberapa hari, juga karena telat makan. Ia tidak memutuskan pulang dan tidur dengan tenang di apartemen karena tahu, malam hari ia perlu mengecek ke site secara langsung.
William tidak jadi mengucap maaf. Menurutnya papinya berlebihan.
"Ri."
"Ya."
"Siapin mobil sekarang."
Experience center telah siap untuk menerima kunjungan. Di bagian depan sudah terdapat pula anjungan mandiri yang memudahkan visitor untuk melihat katalok produk secara online, juga berisi denah tempat produk berada untuk mengalami live experience.
Papi berkeliling sambil mencoba mengubah warna dinding kantor di ruang percobaan 3. Ia tampak terkesan. Ini memang experience center yang berbeda dari yang sudah ada.
"Siapa?"
William jelas mendengar papi bertanya kapadanya. Tetapi hanya satu kata, ia tak mengerti.
"Hmm?"
"Siapa yang kamu suruh di sini?"
Apa sebab ia belum makan malam, William mengernyit kembali memikirkan makna kalimat papi. Akhirnya papi menoleh ke arahnya dan berkata dengan lebih jelas. "Kalau kamu ke Jakarta, do it, tapi kamu pilih siapa yang akan di sini. Dan kamu masih bertanggung jawab untuk ngurus ini."
William mengerjap. Ia tak langsung merespon.
Papinya telah setuju untuk ia pindah ke Jakarta. Ia seharusnya bungah, dan bergembira dengan ini. Namun perasaannya tak lebih dari sekedar terhenyak saja.
Sebab alasan kepindahannya juga tak sedang ada di tangannya.
"Makasih, Pi. William pikirkan dulu."
Papi hanya tersenyum, lalu berjalan kembali menuju area lain.
William sempat menunggu apakah papi akan bertanya soal Anya. Dengan menyetujui diirnya untuk pindah, apakah artinya papi juga sudah memberikan restu. Tetapi sedikitpun ia tak membahas bahkan hingga orang tuanya kembali ke Jakarta. William juga tak bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Caramel
قصص عامةPerkenalkan, dia adalah Nia, dokter muda, penyuka manis, yang sedang mengejar cita-cita, tetapi sering dijodoh-jodohkan mamanya. Ia berjabat tangan dengan William di sebuah jamuan makan malam. Pengusaha, penyuka sup asin, yang tak percaya pada cinta...