At An Arm's Length
_______________________
William melonggarkan dasinya. Ia seperti menjadi kesulitan mengatur sesak di dadanya sebab debar yang tak kunjung mereda. Ia butuh kepastian soal kabar barusan.
Tangan pria itu beberapa kali menekan klakson membunyikan raungan kendaraan yang terjebak padatnya lalu lintas. Berharap jalan di depannya terurai dengan cepat. Ia mungkin telah terbiasa, tetapi entah bagaimana, malam ini jalanan Jakarta terasa amat sangat melelahkan.
Begitu sampai rumah sakit, William memarkir mobil dan berjalan cepat menuju lobi. Tangannya menekan layar ponselnya, membaca sekali lagi ruangan mana yang perlu ia tujuh.
Ia memang menawarkan diri untuk mengantar apa yang Tante Shinta pesan untuk dibawa ke rumah sakit. Setelah meyakinkan ART Tante Shinta kalau ia benar-benar kenalannya. Pria itu mengganti biaya gosend kepada pengemudinya dengan sejumlah cash.
Tante Shinta berada di sana. Saat memasuki ruangan, beliau membelakanginya. William baru tahu kalau Anya sedang muntah dan Tante Shinta menahan rambut perempuan itu.
"Sebentar."
Tangan beliau kemudian sibuk, memecet tombol, merapikan kembali posisi tidur Anya. Tante Shinta menuju toilet, membilas baskom dan membawanya kembali. Ada satu perawat yang hadir tak lama di ruangan mereka.
"Sus kenapa masih muntah-muntah ya?" tanya Tante Shinta.
"Sus mau Ondansetron, Sus." Anya menyambung. Perawat yang datang terlihat bingung. Anya mengatakannya saat ia belum membuka matanya lebar.
"Dia dokter umum, Sus. Mungkin tahu nama obatnya?" Tante Shinta memberi penjelasan dalam nada tenang.
"Sebentar saya ambilkan resepnya." Perawat itu berjalan keluar dengan buru-buru. Anya muntah sekali lagi dan masih berupa cairan bening. Perawat datang tak lama kemudian, memberikan obat anti mual.
"Pusing." Anya terlihat masih enggan untuk membuka mata
"Ya sudah, tidur dulu nggak papa. Mau minum?" Anya menggeleng masih sambil menutup mata. Tante Shinta menata ketinggian kasur agar Anya nyaman meneruskan istirahat.
William menyaksikan semua itu dengan perasaan tak menentu. Ia hanya bisa mematung. Anya tampak pucat. Itu membuat hatinya tak tenang.
"Boleh bawa sini, William."
Pria itu tersadar telah mematung. Tangannya bergerak menyerahkan totebag hitam.
Tante Shinta mengeluarkan selimut dari dalam totebag yang William bawakan. Meletakkannya sebagai tambahan di atas tubuh Anya. Beliau masih duduk di samping tempat tidur, menunggu hingga nafas Anya teratur yang menandakan ia telah lelap.
Tante Shinta lantas berjalan menuju sofa.
"Duduk sini William." Ia menyilakannya tamunya untuk duduk juga.
William masih belum bisa bertanya apa sakit Anya. Kata-katanya seperti tercekat tidak keluar dari tenggorokan. Ia hanya tak melepas pandang ke arah Anya. Andai saja, andai mereka masih berhubungan baik, William tidak mungkin terlambat untuk datang kemari.
"William."
Yang punya nama memaksakan diri menoleh.
"Dia nggak apa-apa. Operasinya lancar."
William menata hatinya pelan-pelan sambil mendengarkan penjelasan Tante Shinta. Kapan hari, Anya melakukan medical check up dan menemukan adanya massa di payudaranya. Diagnosanya tidak pasti, makanya dua kali ia melakukan pemeriksaan ulang. Sebab ukurannya tidak kunjung mengecil, maka diputuskanlah melakukan operasi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Caramel
Ficção GeralPerkenalkan, dia adalah Nia, dokter muda, penyuka manis, yang sedang mengejar cita-cita, tetapi sering dijodoh-jodohkan mamanya. Ia berjabat tangan dengan William di sebuah jamuan makan malam. Pengusaha, penyuka sup asin, yang tak percaya pada cinta...