9 | Unforeseeable

257 30 0
                                    

At a Snail's Pace

___________________

"Anya?"

Netra perempuan itu terbuka lebih lebar mendengar nama yang disematkan padanya sedikit lebih lama dari seumur bunga matahari. Di sebuah tanah yang jauh dari permulaan cerita, ia kembali menyaksikan pria itu. Seseorang yang sudah ia desakkan ke dalam lacinya selama berminggu-minggu.

"Hi," pria itu berdiri dan menyapa lagi setelah tak ada balasan apa-apa.

"William."

Yang punya nama sedang tersenyum, membuat Nia sedikit terpaku. Tertegun sebab ia terlihat begitu lain. Apabila biasa—walau yang disebut biasa ini baru terjadi dua kali—ia menemui William, lelaki itu berada dalam fashion formal, menenakan setelan panjang berjas dan memiliki tatanan rambut yang rapi, maka kali ini ia pertama kali melihatnya mengenakan kaus polo hijau tosca lengan pendek dengan rambut sedikit bergelombang yang dibiarkan bebas tanpa styling gel—hingga menutupi sebagian dahinya. Tampak lebih casual yang sesuai dengan hawa negara tetangga yang tak cocok dengan baju lengan panjang.

"Nggak nyangka ketemu di sini."

Benar, mungkin itu kalimat tepat yang menjelaskan alasan Nia terpana. Tidak menyangka. Ia telah jauh terbang jauh melintasi pulau dan berhenti pada sebuah cafe random. Bahkan sekecil-kecilnya singapura, tetap saja probabilitas untuk berada di tempat yang sama tanpa janjian itu mungkin lebih kecil daripada apakah kamu akan mendapat angka pada koin yang dilempar.

Satu lagi sebenarnya yang membuatnya terheran, ia sempat melirik dengan siapa laki-laki itu duduk. Seorang balita sedang asik menikmati kue coklatnya. Apakah anak itu ada hubungan dengan William? Sedetik ia terpikir pertanyaan.

"Lo-kamu ada acara?" Ia masih tak terbiasa.

William menggeleng, "Enggak. Main aja ke rumah kakak. Ke-"

"Miss." Sebelum sempat William melanjutkan, Nia sedang dipanggil. "Your order." Ia memutar tubuhnya menghadap pada pelayan yang membawakan pesanan.

"Thank you."

"Duduk sini aja kalau nggak keberatan," tawar pria itu. Kamu sendirian?"

Perempuan itu mengangguk singkat. Ia tidak punya alasan kuat untuk menolak. Nia meletakkan minuman dan kuenya di meja sebelum menarik kursi. Mau tak mau pandangannya tertuju pada anak kecil yang kemudian mendongak padanya.

"Ini keponakan saya, namanya Kayla."

Nia tidak sadar menghembuskan nafas lega.

"Lucunyaa. Halo Kayla." Nia berusaha tersenyum ramah, tetapi namanya juga anak kecil, masih mudah merasa asing dengan yang baru. Ia hanya memandang Nia dengan datar, kemudian kembali menghadap kuenya yang separuh habis.

"Saya punya satu kakak perempuan, sudah menikah dan sedang tinggal di sini dengan keluarganya." William menjelaskan. Lelaki itu berkata sambil menarik tisu untuk mengusap sisa krim yang ada di pipi kemudian tangan anak kecil itu. "Minum dulu yuk, habis ini kita pulang."

Salah tempo William memberi tahu sekarang, sebab setelah mendengarnya Kayla menyatukan alisnya dan menampilkan wajah merengut pada omnya. "Kayla masih mau mam cokat!"

"Okey okey." William mengalah. "Silakan dihabiskan, tuan puteri."

Sudut bibir Nia tak sengaja tertarik ke atas. He's good with kid? Perempuan itu mengamati William tidak memesan kue. Hanya ada secangkir artisan tea yang ada di depannya.

"Ada kegiatan di sini?"

Nia mendongak. William sedang mengusap keringatnya. Pria itu menyugar rambutnya ke belakang dengan jemari, memperlihatkan dahinya yang lebar, membuat gadis itu menelan coklat hangatnya perlahan. Takut tersedak.

Salted CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang