Someday, Spring will come
_______________________
Sayup-sayup suara percakapan antar manusia terdengar tidak begitu jelas berupa gumanan. Suara itu membuat Nia terbangun. Matanya mengerjap perlahan. Ia mengangkat tangan kanannya bermaksud menyingkirkan beberapa sisa tidur yang memburamkan pandangannya sebelum berdesis. Rasa nyerinya menjalar di dada kanannya.
Ia sempat lupa sesaat bahwa ia baru saja menjalani pembedahan. Dirinya ganti menggunakan tangan kiri yang terpasang jarum mengalirkan cairan ke tubuhnya. Nia sudah mengingat di mana ia dan sedang apa. Itu adalah hasil keputusan yang ia ambil secara sadar kemarin—sebelum kesadarannya hilang.
Nia menoleh. Mereka berdua sedang bercakap.
"Tapi karena saya pindahnya bukan ke kantor papa, sekarang masih tahap merintis mulai dari awal, Tante."
Mama duduk membelakanginya. Ada William yang terlihat mengenakan kemeja biru. Nia merasa pernah melihatnya. Perempuan itu mengernyit lagi, apakah semalam saat ia bermimpi? Dia tak begitu mengingat.
"Anya?"
William menangkap kesadarannya. Mereka berdua kini menoleh ke arahnya. Mama berdiri dan berjalan mendekat.
"Udah bangun?"
Nia menelan ludah. Tenggorokannya kering, mulutnya pahit, dan ia merasakan nyeri. Mama membantu duduk kemudian mengambilkan minum.
"Ma." Setelah menyesap air pita suaranya lebih bisa digunakan.
"Mau apa?"
"Sarapan." Ia menyuarakan bisik kecil.
Nia belum begitu tahu ini pukul berapa. Tetapi jika mengingat ia sudah puasa sejak pagi kemarin, maka menuju pagi hari ini tentu saja sudah melewati puluhan jam. Tubuhnya terasa lemas juga panas sebab metabolismenya meningkat pasca operasi. Ia butuh asupan.
"Kamu semalam mama bangunin nggak bangun-bangun. Padahal mama udah masakin saripati daging. Jadinya mama taruh kulkas lagi. Mama panasin dulu ya." Mamanya berpindah menuju kulkas untuk menyiapkan bekal semalam.
Perutnya berbunyi. Kepalanya berdenyut nyeri. Sepertinya ia tidak bisa menunggu terlalu lama lagi.
Nia hendak membuka suara saat William mendekat ke arahnya. Pria itu datang mendekatkan meja.
"Sambil nunggu, makan ini dulu."
William membuka plastic warp yang menutupi seporsi sarapan yang telah diantar ke ruang rawatnya pagi tadi. Tangan pria itu meraih sendok, meraup kecil nasi lembek dengan ujungnya.
"Mau lauk apa?"
"Biar aku sendiri aja."
Ia berusaha menjangkau walau tangan kanannya tidak bisa terangkat dengan baik. Nia tahu. Seharusnya ia bertanya berapa lama efek nyeri post-op ini hilang. Ia hanya mengambil cuti satu minggu.
William menggeleng. Menyentuh tangan Nia dengan lembut. "Lihat tangan kamu aja masih gemetar." Pria itu bicara tenang sekali.
William memotong ayam lunak dengan garpu. Tangannya sibuk memindahkan potongan lauk ke atas nasi tim lunak. Kemudian menyuapkannya ke arah Nia.
Nia masih bergeming. Rasanya awkward setelah semua reka ini terjadi. Kemarin ia sudah mengembalikan semua barang pemberian pria itu. Beserta sejumlah uang yang telah ia gunakan. Jumlahnya mungkin tak seberapa dibanding waktu dan tenaga yang sudah banyak hilang dikeluarkan. Namun, ia tak ingin lagi berhutang budi, atau dianggap tak tahu diri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Caramel
Fiksi UmumPerkenalkan, dia adalah Nia, dokter muda, penyuka manis, yang sedang mengejar cita-cita, tetapi sering dijodoh-jodohkan mamanya. Ia berjabat tangan dengan William di sebuah jamuan makan malam. Pengusaha, penyuka sup asin, yang tak percaya pada cinta...