3

1.4K 50 9
                                    

Happy reading! 😁🍉

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading! 😁🍉

Setelah kejadiam di kantin tadi, aku memilih untuk mendiamkan Gio. Entah kenapa, pembahasan soal hubungan kami membutku merasa tidak nyaman.

Gio sudah menjadi sahabatku untuk waktu yang lama, semua emosiku sudah kutunjukkan pada cowok itu. Termasuk sifatku yang beragam dan tentunya tidak diketahui oleh orang lain.

Aku selalu bercerita padanya. Entah sesederhana tentang apa yang aku alami hari ini, sampai yang sekompleks suasana rumahku.

Mungkin, jika ada yang ingin mengetahui semua rahasiaku, Giolah sumber yang paling terpercaya. Yah , kecuali satu hal yang tidak ia ketahui dan kuharap tetap begitu.

Kualihkan tatapanku ke arah cowok itu, ia masih terlihat sama dengan yang kulihat lima tahun yang lalu. Mungkin sedikit bertambah tinggi dan tampan, itulah yang kulihat dari dirinya hari ini.

Aku menghela napas lelah, entah perasaan tidak nyaman macam apa yang nasih terus bersarang dalam hatiku.

Kubulatkan mataku, ketika tangan Gio menarik kepalaku untuk bersandar ke dalam pelukannya. Dapat kudengar detak jantungnya yang tak beraturan dalam jarak sedekat ini. Aku tidak bisa seperti ini dengan pria lain, selain anggota keluargaku dan Gio. Wajar saja pada awal perkenalan kami, Bang Gavin dan Ayahku memberikan serangkaian  tes padanya yang menurutku sudah hampir sama dengan latihan militer.

Kupikir Gio akan menjauh setelah itu, nyatanya cowok itu malah semakin lengket. Jadilah sekarang ia sudah seperti anggota keluargaku. Tidak jarang mengantar Bunda berbelanja, atau menemani Ayah dan Bang Gavin yang suka bermain basket bersama.

"Gio, jangan gini dong!" Pintaku, mencoba mengubah posisiku. Namun, nihil. Tangan cowok itu kembali mendekapku dengan kuat. Kalau yang melakukannya cowok lain, bisa dipastikan aku sudah lemas karena ketakutan. Anehnya, aku justru nyaman ketika bersama Gio. Huh, pilih kasih memang traumaku ini.

"Kamu kenapa hm?" Tanya Gio dengan suaranya yang lembut. Benar-benar membuat detak jantungku semakin menggila. Aku hanya bisa terdiam sambil berharap agar cowok itu tidak mendengar suara detak jantungku yang berpacu semakin cepat, karena bahagia (?)

Kualihkan tatapanku, ketika Gio menatap intens ke arahku. Baru kusadari bahwa di luar sedang hujan. Pantas saja Gio belum mengajakku pulang sejak tadi.

"Hujan," Ucapku tanpa sadar, setelah hening cukup lama.

"Udah dari tadi, sayang," Jawab Gio yang langsung membuat tatapanku beralih ke arahnya. Rasanya seperti ada jutaan kupu-kupu di perutku, ketika mendengar kata 'sayang' terucap dari bibirnya.

"Apaan sih lo," Kesalku sembari mendengus.

Gio mengelus rambutku pelan. Ia tahu, aku masih sangat trauma untuk berada dalam sebuah hubungan. Kejadian yang sudah terjadi dua tahun lalu, masih terus menghantuiku. Kalau saja itu tidak terjadi, mungkin aku bisa bebas dari traumaku sekarang.

"Emang, tipe cowok lo kayak gimana sih Ca?" Tanya Gio setelah hening cukup lama.

Aku terdiam sejenak. Mencoba memikirkan jawaban untuk pertanyaan absurd cowok itu.

Kalau ditanya soal tipe ideal, mungkin aku tidak bisa mendefenisikannya. Karena, menurutku cinta itu datang dengan sendirinya, tidak perlu tampan atau kaya, terkenal atau biasa saja. Menurutku cinta bisa membutakan sekaligus menunjukkan keadilan.

Tapi, mungkin Gio adalah orang yang tepat untuk dijadikan sebagai tipe idealnya.

Ganteng? Iya, sangat malah. Baik? Jangan ditanya lagi, dia adalah pria terbaik yang pernah kukenal setelah ayahku. Penyayang? Apa perlu kujawab lagi? Cowok itu selalu memperhatikanku, tidak peduli bagaimana pun keadaannya. Ia akan berusaha untuk selalu ada untukku, kapanpun dan dalam situasi apapun.

"Lo," jawabku sambil menatapnya singkat.

Seketika cowok itu menghentikan gerakan tangannya yang sedari tadi sibuk memainkan game di ponselnya.

"Hah? Gue? Gimana-gimana?" tanya cowok itu dengan ekspresi tidak percaya miliknya.

Tatapan itu sangat memesona, membuatku tidak kuat berlama-lama menatapnya. Binar bahagia dalam tatapan tajam yang intens milik Gio, ah rasanya aku bisa gila jika terus seperti ini.

Dapat kudengar dengan samar, suara teriakan teman-teman cowok itu dari ponselnya. Bagus, aku mendapatkan ide untuk memutuskan kontak mata kami.

'Oi! Gio lo kemana anj*ng?! Help woi! help!'

'Gio sialan itu musuh ngejar gue anjing, di sebelah kiri itu! Buru tembak!'

'Giooo, mo mati lo?!'

Aku berani bertaruh, bahwa Gio juga mendengarkan suara teman-temannya. Entah apa yang ada dipikirannya, bukan menanggapinya, cowok itu malah mematikan daya ponselnya. Gagal sudah rencanaku tadi, bukannya memutus kontak mata, ia malah memusatkan seluruh perhatiannya padaku.

"Lho, kok dimatiin? Itu temen lo gimana?" Tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaran. Berharap agar cowok itu tidak lagi menatapku intens.

"Ga penting itu! Tadi kamu bilang tipe kamu itu aku kan?" Lagi, ia bertanya dengan nada serius dan tatapaj teduh itu. Sungguh, itu semua memojokkan aku.

"Iya, emang kenapa?" Kesalku akhirnya menyerah dengan tatapannya.

***

Annyeong! Rewrite part 3 guys wkwkwkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Annyeong! Rewrite part 3 guys wkwkwkwk. Are you still there?
Jgn lupa voment yaa
Still try to make it good
Hope you can understand the plot guys😘

I'm only human, so please support me by giving vote and coment.

Love you
See yaa

Hwarang's

(HWARANG'S 5) FRIEND (REWRITE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang