3. Semua Karena Lapar

822 111 16
                                    

"Berhentilah membencinya. Kita semakin menua dan menjadi lemah, sayang. Kita akan butuh bantuan anak-anak nanti."

Dalam malam pekan kedua musim gugur, sepasang suami istri itu bergeming, saling berbagi kehangatan di atas peraduan. Sang pria memeluk tubuh istri tercintanya disertai usapan-usapan kecil di punggung. 21 tahun memang cukup untuk mengubah segalanya. Tapi untunglah, tak ada yang berubah dari kasih sayang Hubert pada Bellatrix, begitu pun sebaliknya.

"Aku masih punya Aldric," gumam sang istri.

"Bella, putramu bukan hanya Aldric. Victory juga membutuhkanmu. Bukan keinginannya untuk lahir dalam keadaan seperti itu." Hubert berbicara selembut mungkin walau nyatanya, kalimat semacam itu telah ribuan kali lolos dari bibirnya sejak dulu.

"Lalu aku harus bagaimana, Hubert? Matanya. Matanya membuatku muak." Meski pelan, suara wanita itu terdengar sarat emosi.

"Istriku..." Hubert mengusap lembut surai legam wanitanya penuh sayang. "Masa lalumu telah selesai. Victory adalah masa depan. Aku tahu kau menyayanginya. Kau juga terluka saat dia kesakitan," tutur sang suami penuh kesabaran.

"Berdamailah dengan masa lalumu, sayang. Jika tidak, bukan hanya fisik dan mental Victory yang terluka. Kau sendiri, bahkan kita sekeluarga ikut merasakan sakitnya. Sebab kau adalah tumpuan kekuatan kami. Jika kau rapuh, apa jadinya keluarga ini?"

Maka setelah beberapa menit hening mengambil alih suasana, Bellatrix melepaskan diri dari pelukan hangat Hubert, merapikan gaun tidurnya dan beranjak keluar dari kamar. Ia membawa langkah menuju kamar salah satu putranya, membuka pintu tak terkunci itu pelan.

Kamar yang begitu gelap karena pemiliknya terbiasa tidur tanpa penerangan. Bellatrix sangat paham akan hal itu. Jadi ia menajamkan pandangan, berjalan menuju ranjang dan menyalakan lampu tidur di nakas hingga pendar lemah berwarna kuning mendirus wajah penghuni ruangan.

Victory tengah terlelap damai dengan dengkuran halus yang teratur. Dengan lembut, Bellatrix mengusap kening putra bungsu, menyibak poni yang tergerai di sana. Entah kapan terakhir kali ia melakukan ini, tapi kini mata obsidiannya kembali memindai setiap lekuk wajah putranya yang telah beranjak dewasa tanpa ia sadari. Wanita itu tersenyum sendu menatap wajah yang tampak begitu lugu, seolah tak satupun beban dan kesedihan mampu mengusik mimpi indahnya. Bellatix berpikir, bagaimana bisa putranya ini tidur begitu damai setelah menerima pukulan dan cacian yang menyakitkan di akhir hari?

Ia beralih menatap kedua tangan si bungsu yang telah terbalut kain kasa. Tanpa sadar, setitik kristal bening meleleh dari sudut mata Bellatrix.

Saat putra bungsunya tertidur. Hanya saat iris peraknya tertutup oleh kelopak mata. Saat itulah Bellatrix seolah terpisah dari dendam hatinya yang teramat dalam, dan kembali dapat menggenggam kemurnian kasih sayang. Ia mengusap kasar air mata di pipi, lalu bergerak pelan mengecup kening putranya sekilas.

"Mama minta maaf, Nak.." Lagi-lagi, frasa itu hanya dapat ia telan sendiri. Bibirnya selalu dibekukan oleh keegoisan.

Setelah itu, Bellatrix mematikan lampu dan bergegas pergi tanpa sadar bahwa sepasang netra perlahan terbuka dan berbinar hangat dalam gelap malam, disusul dengan lengkung samar di bibir.

"Tory sayang Mama."

*

Pernah membaca artikel tentang iklim di Republik Ceko yang akan kerap hujan di musim semi dan musim gugur? Itu memang benar. Di pertengahan Oktober yang merupakan bulannya musim gugur seperti ini, setidaknya hujan akan turun tiga kali dalam sepekan. Dan Adity bersyukur tidak ada kelas apapun di kampusnya hari ini. Jadi, ia tidak harus mengenakan jas hujan dan payung. Tidak harus berlari menembus guyuran air hingga membuat sepatunya basah, dan rambut keriting kebanggaannya berantakan.

Ritardando - KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang