(Revisi)
Pada akhirnya, yang diinginkan Victory bukan lagi tampil di panggung megah, sorak sorai penonton untuknya, atau kemenangan dalam kompetisi, melainkan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi.
Untuk mendukung imajinasi, cerita ini dilengkap...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
.
.
.
Dalam 11 jam 30 menit perjalanan udara, yang ia lakukan hanya membisu. Sesekali butir kristal bening akan jatuh dari pelupuk mata tanpa ia tahu apa sebabnya. Yang Adity rasakan sejak semalam hanya kebingungan mendalam. Semua penjelasan Hubert tentang neuroblastoma, kemoterapi, serta kemungkinan yang akan terjadi pada Victory bila pengobatannya tidak berhasil telah menghantam kewarasannya hingga hancur berkeping-keping. Bahkan ketika pesawatnya telah mendarat di tanah Devanahalli pada malam yang cukup larut, ia sama sekali tak dapat memikirkan hal lain meski sekadar mengaktifkan ponsel untuk mengabarkan pada salah satu keluarga bahwa dirinya telah pulang. Alhasil, ia membuat heboh seisi rumah dengan kepulangannya yang tiba-tiba.
"Adity, putriku. Akhirnya kau pulang.." Rengkuhan Ashmit, sang ayah membatalkan gerak Adity untuk menyentuh kakinya guna memberi hormat, sekaligus menyuratkan satu dari sekian banyak kebahagiaan atas kepulangan putri sulung keluarga Chandra.
"Aku rindu Ayah.." gumam Adity yang telah menelusupkan kepala di dada bidang ayahnya.
Berikutnya, ia bergeser menghadap Shruti, ibunya yang bertubuh tambun dengan senyum tegas. Pertengkaran beberapa minggu lalu lewat telepon membuatnya cukup gentar juga terharu ketika bertatap muka dengan pribadi yang telah melahirkan dan membesarkannya itu. Ia merapatkan kedua belah tangan demi menghaturkan sembah, kemudian berjongkok, menyentuh punggung telapak kaki sang ibu yang dibalas oleh belaian di kepala.
Meski kecanggungan masih terasa di antara ibu dan anak itu, tampak jelas binar bahagia di netra wanita hampir paruh baya itu kala kedua tangannya menyentuh pipi si gadis, lalu menggamit kedua pundaknya.
"Syukurlah kau sehat."
Rasanya Adity ingin kembali memeluk erat sang ibu dan menangis memohon ampunan. Namun segalanya urung ketika bola mata Shruti bergerak ke arah belakang Adity.
"Apa kau datang sendiri? Di mana Pandu?" tanya beliau.
Perlahan gurat haru di wajah gadis itu luntur, berganti tatapan kosong. Ia tahu pertanyaan ini akan muncul. Sialnya, terfokus pada apa yang ia lalui sebelum meninggalkan Republik Ceko membuatnya lupa menyiapkan alasan atas kepulangannya.
"Kakak jelek! Mana oleh-oleh untukku?" Seolah mengerti kebingungan dalam benak kakaknya, Dev yang sedari tadi berdiri di samping sang ibu tiba-tiba berseru tak sabaran dengan tatapan khas adik durhaka. Seluruh keluarga sontak menatapnya. Ia mendekati sang kakak sembari menengadahkan tangan kanan.
Adity tak membuang kesempatan untuk menghindari pertanyaan sulit ibunya. Ia mencibir lalu membalas, "Dasar cecunguk kecil! Aku jelek kau bilang? Sopanlah sedikit pada wanita," sungut si sulung disertai toyoran kecil di kepala adik yang hanya terpaut tiga tahun darinya.
"Memangnya Kakak wanita ya?" balas si bungsu dengan tawa jahil.
"Anak jerapah! Kau bertambah tinggi tapi tidak berguna sama sekali!" suara Adity semakin meninggi.