(Extra Part) 100 Nights

459 59 33
                                    

"Sudah larut, Tory. Sebaiknya kau tidur sekarang."

"Tapi aku belum mengantuk, Kak. Satu lagu lagi?"

Ingin sekali Aldric menolak permintaan adiknya, tapi ia seolah kehilangan keberanian. Apalagi dengan antusiasme si bungsu yang tampaknya masih cukup tinggi meski dua jam sudah mereka berkutat dengan piano.

Pria itu mengembuskan napas singkat untuk mengusir jengah. "Baiklah, ini yang terakhir. Kau harus segera beristirahat. Ingat kata Dokter Martin?"

"Latihan berjalan setidaknya lima menit sehari, makan banyak sayur, istirahat cukup, minum obat tepat waktu," sahut Victory lancar.

Aldric manggut-manggut lalu menimpali, "Dan kau belum meminum obat malammu, kan?"

"Asal aku belum tidur, itu belum terlambat kan, Kak.." balas Victory sambil meringis tanpa rasa bersalah.

"Ya... Ya. Terserah." Saking gemasnya, Aldric ingin sekali memukul kepala adiknya yang akhir-akhir ini entah mengapa menjadi semakin bebal dan sering mengajukan permintaan aneh-aneh kalau saja saat ini dia tidak sedang sakit keras dan kesulitan bergerak. "Oke, ini yang terakhir. Mau lagu apa?"

Victory tersenyum puas, kemudian mulai membalik partitur di hadapannya. 13 Jours en France karya Francis Lai. Dan kakak beradik itu mulai berduet kembali dengan Aldric yang begitu sabar memainkan tuts-tuts nada rendah dalam tempo pelan untuk mengimbangi pergerakan tangan Victory yang masih sangat kaku.

"Sudah puas?"

"Em hm." Si bungsu mengangguk senang dengan mata berbinar-binar setelah menyelesaikan lagu itu, otomatis melunturkan kekesalan dalam hati Aldric.

"Nah, sekarang tidurlah, bocah."

Victory hanya menurut saat Aldric meraih dan mengalungkan satu lengannya di pundak, membiarkan separuh beban tubuh Victory bertumpu padanya. Yang lebih tua kemudian memapah tubuh adiknya perlahan keluar dari studio.

"Kak, tunggu."

"Apa?"

"Mau ke kamar mandi."

Tanpa bicara, Aldric menuntun adiknya yang masih tertatih menuju kamar mandi. Menungguinya di luar dan membukakan pintu ketika mendapat panggilan dari dalam. Mereka kemudian menuju kamar si bungsu. Aldric dengan saksama menunggui Victory meminum obatnya satu persatu, lalu membantunya berbaring dan menyelimuti separuh tubuh bawahnya.

"Kak." Panggilan itu menghentikan langkah Aldric yang telah berada di ambang pintu. Ia segera berbalik.

"Ya?"

"Emmm... Maaf... Tapi air minumku hampir habis. Boleh minta tolong?"

"Baiklah, tunggu sebentar." Dan tak butuh waktu lama bagi Aldric untuk kembali dengan teko dipenuhi air putih yang segera ia letakkan di nakas.

"Sudah kan?"

"Hum. Terima kasih, Kak."

"Baiklah, aku kembali."

"Eh, Kak."

"Apa?"

"Punggungku... Gatal." Kali ini Victory kembali tersenyum meringis.

Lalu Aldric mendekatinya lagi meski rautnya telah terlihat begitu lelah.

"Kemari." Perlahan ia membalik tubuh adiknya untuk berbaring miring. "Sebelah mana?"

"Kiri atas. Ke bawah sedikit. Agak ke kanan. Nah itu. Nah... Ah, sudah cukup, Kak."

Setelah Victory kembali berbaring, Aldric menatap lamat wajah yang didirus cahaya kuning lampu tidur itu. "Ada lagi yang kau butuhkan?"

Ritardando - KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang